Jakarta (ANTARA News) – Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, mengungkapkan, dunia internasional dan negara-negara sahabat kagum dengan demokrasi yang berjalan di Indonesia.

Moeldoko mengingkapkan bahwa kesan itu ia dapatkan ketika dirinya mewakili Presiden Joko Widodo saat menghadiri ajang "Open Government Partnership (OGP) Global Summit" di Georgia, beberapa waktu lalu, ketika dirinya bercerita tentang keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di 171 wilayah secara serentak.

"Mereka terheran-heran, Indonesia sebagai negara yang sangat besar dan sangat plural, baru saja selesai Pilkada Serentak di daerah sebanyak itu," kata Moeldoko dalam keterangan yang diterima, Jumat.

Pada saat ini suhu politik di Indonesia mungkin bisa semakin meningkat seiring dengan dimulainya pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024 pada 4 – 10 Agustus besok, sehingga kematangan demokrasi Indonesia yang menjadi perhatian dunia, kini akan diuji.

Sejauh ini, katanya, demokrasi di Indonesia dianggap sudah cukup matang, karena tidak ada konflik horizontal yang muncul, meski persaingan antara masing-masing kubu politik terjadi cukup ketat.

Oleh karena itu, ia berharap agar pencapaian Indonesia itu bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain di dunia, terutama dalam hal kondusivitas pada saat proses penyelenggaraan Pemilu.

"Ini menunjukkan kematangan demokrasi di Indonesia, perlu negara lain melihat Indonesia. Model seperti ini sangat menarik untuk negara-negara OGP," katanya.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, perilaku elit politik punya peran yang cukup penting dalam menjaga suhu politik dalam negeri, apalagi figur yang menjadi calon presiden dan calon wakil presiden nanti.

"Tokoh politik harus menjadi aktor terdepan dalam meredam potensi konflik antar warga. Bahwa perbedaan politik bukan berarti harus membuat perpecahan, apalagi perilaku destruktif dan anarkis,” ujarnya.

Ia juga berharap penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU menggandeng seluruh pihak dalam menjalankan proses pemilu.
"Terutama penegak hukum, harus ada tindakan tegas bagi provokator-provokator yang menjadi pemicu perpecahan," tuturnya.

Menurut dia, Indonesia adalah negara populasi muslim terbesar yang paling demokratis di dunia dan sudah patut menjadi contoh bagi negara lain.

Ia yakin tidak akan ada konflik horizontal di Indonesia terkait Pemilu di 2019.

"Dalam demokrasi global, jauh sekali kalau dibandingkan dengan negara Timur Tengah, atau jika dibandingkan negara tetangga seperti Thailand," tuturnya.

Namun demikian, ia mengakui ada kubu-kubu politik yang sangat jelas di masyarakat.
"Kalau bicara tantangan demokrasi, saya sepakat, bahwa kita menghadapi hoaks, berita bohong dan fitnah, dan lainnya, itu warning bagi elit politik, jangan sampai itu mengorbankan suasana demokrasi kita yang sudah bagus ini," tuturnya.

Pandangan yang sama diungkapkan anggota Komisi II DPR, Achmad Baidowi, yang menyatakan bahwa sistem demokrasi Indonesia yang ada saat ini sudah menunjukkan kemajuan yang cukup baik.

"Alhamdulillah itu menunjukkan indeks demokrasi Indonesia tinggi," ungkap politikus dari Partai Persatuan Pembangunan itu.

Kemajuan yang pesat itu, kata dia, terlihat dari kedewasaan masyarakat dalam menyikapi pelaksanaan Pilkada serentak yang baru saja dilaksanakan dan masyarakat bisa menerima apapun yang dihasilkan, walaupun belum terlepas dari kekurangan.

Salah satu contoh yang ia ungkapkan adalah mempertahankan demokrasi sesuai jalur dan aturan yang ada, lalu merealisasikan kesejahteraan rakyat.

Contoh lainnya adalah masih seringnya ditemukan praktek politik uang, penggunaan isu SARA, dan penyebaran berita bohong.
Untuk itu ia mengusulkan agar ada penguatan dalam ketentuan perundang-undangan.

Usulan itu disambut baik oleh pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti, yang menyarankan agar ada pendefinisian lebih detil dalam hal pelanggaran-pelanggaran pidana pemilu.
"Kita dorong agar ada penegasan di hukum pidananya,” kata pegiat pemantau pemilu itu.