Sejarah membentuk masa depan lebih baik
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid (tengah) disaksikan Wakil Dubes Jepang untuk Indonesia Keiichi Ono (kanan) memberikan buku Jagung Berbunga di Antara Bedil dan Sakura kepada Direktur Utama Perum LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat (kiri) dalam pembukaan Pameran Jagung Berbunga di Antara Bedil dan Sakura di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (2/8/2018). Pameran foto, poster, buku, manuskrip serta seminar kesejarahan itu diselenggarakan dalam rangka memperingati 110 Tahun Kebangkitan Nasional dan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang. Pameran tersebut berlangsung hingga 10 Agustus. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
"Kita belajar sekarah agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa lalu.? Kita belajar sejarah karena kita ingin tahu apa yang mambawa kita hingga saat ini," kata Hilmar dalam Seminar Kesejarahan "Hubungan Indonesia-Jepang dalam Lintasan Sejarah" di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Kamis.
Hilmar menuturkan belajar sejarah mengajarkan lebih kritis dan memahami pembentukan peradaban dan negara.
"Dengan belajar sejarah, kita bisa mengarungi masa depan lebih baik. Kita lebih mawas diri dan bijak serta memahami betul kelebihan dan kelemahan kita," tuturnya.
Menurut dia, sejarah dapat dilihat dari sudut pandang berbeda agar dapat melihat secara utuh gambaran sejarah yang memiliki banyak dimensi kehidupan seperti kebahagiaan, penderitaan, persahabatan dan pengkhianatan.
"Sejarah di samping mengajarkan kebajikan juga kerendahan hati. Berbekal kerendahan hati ini, kita bisa menatap masa depan Indonesia yang lebih baik," ujarnya.
Di samping itu, dia mengatakan Jepang telah menjadi inspirasi bagi kaum pergerakan nasional. Kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 telah memberikan semangat dan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk bebas dari penjajahan dan menjadi merdeka dan mandiri.
"Sejarah membuat pikiran kita jauh lebih mendalam,?dan secara sikap dan perilaku kita lebih bersahaja," ujarnya.
Direktur Utama Lembaga Kantor Berita Nasional Antara Meidyatama Suryodiningrat mengatakan, sejarah Indonesia-Jepang jangan hanya dilihat dari segi penjajahan Jepang atas Indonesia.
"Untuk anak-anak sekolah secara sederhana mungkin mengingat Jepang sebagai penjajah, tetapi di antara sejarah yang sangat sederhana itu banyak aspek seperti kebudayaan, politik, sosial yang ikut membangun Indonesia menjadi apa yang menjadi sekarang ini. Inilah hal-hal yang perlu diusahakan untuk diungkapkan lebih dalam," tuturnya.
Dia menuturkan orang-orang hanya melihat penggalan-penggalan sejarah tertentu dan hanya dari satu sudut pandang tertentu misalnya pada masa pendudukan Jepang pada 1942-1945 sekadar hanya melihat Jepang pada masa itu sebagai penjajah.
Menurut dia, penjajahan itu memang suatu fakta sejarah namun sebenarnya kehadiran Jepang pada saat itu juga memberikan sumbangsih dalam mengajarkan dan menyadarkan orang Indonesia dalam belajar memerintah dan berorganisasi, ketentaraan dan sebagainya.
Dalam menyuguhkan penggalan sejarah Indonesia ddan Jepang, pameran kesejarahan berjudul "Jagung Berbunga di antara Bedil dan Sakura" dilaksanakan pada 2-10 Agustus 2018 di Perpustakaan Nasional RI.
Pameran itu menyajikan antara lain 70 koleksi berupa manuskrip, foto, poster, kumpulan gambar (sketsa) dan lukisan Ono Saseo di Jawa pada masa 1942-1945 yang ditampilkan secara menarik.
Pameran itu dikuratori oleh Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara Oscar Motuloh.
Oscar menuturkan tantangan dalam membuat pameran itu adalah riset akan penggalan sejarah itu. Untuk itu, pihaknya bekerja sama dengan Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk mengakses sumber-sumber primer sejarah.
"Tantangan yang paling sulit adalah riset. Karena kan kita kalau ngomongin sejarah kan bisa aja berbunga-bunga, berbusa-busa tapi kalau ga ada gambarnya bagaimana. Gambar menjadi bagian penting dalam pengungkapan sejarah," ujarnya.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018