Pengungsi gempa Lombok keluhkan minimnya tenaga medis
2 Agustus 2018 18:49 WIB
Pendaki Gunung Rinjani yang sempat terjebak longsor akibat gempa bumi, Suharti (tengah), mendapatkan perawatan medis setelah berhasil dievakuasi, di Lapangan Sembalun, Lombok Timur, NTB, Selasa (31/7/2018). Tiga orang pendaki yang terjebak akibat gempa berhasil dievakuasi menggunakan helikopter. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Sembalun (ANTARA News) - Warga pengungsi korban gempa bumi 6,4 Skala Richter di Dusun Sajang, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat mengeluhkan minimnya tenaga medis di posko pengungsian.
"Yang jadi permasalahan kita sekarang ini tenaga medis yang kurang, terutama yang tetap siaga di posko pengungsi," ujar Rendi Koordinator Posko Pengungsi di Dusun Sajang, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Kamis.
Ia menuturkan untuk memeriksakan kesehatan sehari-hari warga jika ada yang sakit di posko pengungsian, mereka bergantung pada mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang juga secara kebetulan sedang melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di dusun tersebut sebelum gempa terjadi di wilayah itu.
"Sebetulnya petugas kesehatan ada, tapi sifatnya mereka hanya keliling tidak tetap di posko. Maunya warga itu ada petugas yang siaga di lokasi, karena bila ada yang sakit dan sifatnya darurat bisa cepat tertangani. Tapi ini kan tidak bisa," jelasnya.
Menurut dia, ketiadaan tenaga medis di posko pengungsian cukup berpengaruh terhadap kondisi kesehatan warga. Sebab, bila keadaan mendesak warga tidak tahu harus kemana memeriksakan kesehatan. Terlebih fasilitas kesehatan seperti Pustu dan Puskemas Sembalun juga dalam kondisi rusak akibat terkena gempa.
Rendi menambahkan, di Desa Sajang, khususnya posko pengungsian Dusun Sajang, terdapat 400 jiwa pengungsi. Mereka terdiri dari orang dewasa, lansia, anak-anak hingga bayi. Sedangkan, yang menjadi korban terdampak gempa sebanyak 1.000 orang yang tersebar di empat dusun, salah satunya Dusun Sajang.
Selain minimnya tenaga medis, menurut Rendi, pihaknya membutuhkan obat-obatan yang jumlahnya juga masih terbatas. Khususnya, obat-obatan untuk anak-anak, seperti obat penurunan panas dan diare.
Baca juga: Kemenkes siagakan petugas kesehatan dan puskesmas tangani gempa NTB
"Kalau untuk logistik itu sudah banyak di posko. Yang kurang ini tadi selain petugas kesehatan juga obat-obatan, karena cuaca juga sudah panas, tiba-tiba dingin, apalagi ini banyak anak-anak berada di tenda," ungkapnya.
Kesulitan tenaga medis ini juga dirasakan Ela, salah satu pengungsi di Dusun Sajang. Menurutnya, penyiagaan tenaga medis di posko pengungsian sangat dibutuhkan warga. Apalagi, jika ada pengungsi yang membutuhkan penanganan secara cepat.
"Biasanya kalau ada yang sakit kemudian gak ada petugas, kita di bantu sama ada anak-anak mahasiswa yang sedang KKN, sekedar untuk obat. Tapi kalau periksa, tunggu dokternya datang, tunggu giliran karena petugasnya keliling, gak satu tempat," katanya.
Ela, bersama para pengungsi lainnya berharap ada tenaga medis yang tetap berada di posko pengungsian. Kalau pun belum bisa di tempatkan secara permanen paling tidak ada petugas yang setiap waktu untuk menyempatkan diri untuk melihat posko pengungsian. "Harapannya tetap ada petugas," tambahnya.
"Yang jadi permasalahan kita sekarang ini tenaga medis yang kurang, terutama yang tetap siaga di posko pengungsi," ujar Rendi Koordinator Posko Pengungsi di Dusun Sajang, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Kamis.
Ia menuturkan untuk memeriksakan kesehatan sehari-hari warga jika ada yang sakit di posko pengungsian, mereka bergantung pada mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang juga secara kebetulan sedang melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di dusun tersebut sebelum gempa terjadi di wilayah itu.
"Sebetulnya petugas kesehatan ada, tapi sifatnya mereka hanya keliling tidak tetap di posko. Maunya warga itu ada petugas yang siaga di lokasi, karena bila ada yang sakit dan sifatnya darurat bisa cepat tertangani. Tapi ini kan tidak bisa," jelasnya.
Menurut dia, ketiadaan tenaga medis di posko pengungsian cukup berpengaruh terhadap kondisi kesehatan warga. Sebab, bila keadaan mendesak warga tidak tahu harus kemana memeriksakan kesehatan. Terlebih fasilitas kesehatan seperti Pustu dan Puskemas Sembalun juga dalam kondisi rusak akibat terkena gempa.
Rendi menambahkan, di Desa Sajang, khususnya posko pengungsian Dusun Sajang, terdapat 400 jiwa pengungsi. Mereka terdiri dari orang dewasa, lansia, anak-anak hingga bayi. Sedangkan, yang menjadi korban terdampak gempa sebanyak 1.000 orang yang tersebar di empat dusun, salah satunya Dusun Sajang.
Selain minimnya tenaga medis, menurut Rendi, pihaknya membutuhkan obat-obatan yang jumlahnya juga masih terbatas. Khususnya, obat-obatan untuk anak-anak, seperti obat penurunan panas dan diare.
Baca juga: Kemenkes siagakan petugas kesehatan dan puskesmas tangani gempa NTB
"Kalau untuk logistik itu sudah banyak di posko. Yang kurang ini tadi selain petugas kesehatan juga obat-obatan, karena cuaca juga sudah panas, tiba-tiba dingin, apalagi ini banyak anak-anak berada di tenda," ungkapnya.
Kesulitan tenaga medis ini juga dirasakan Ela, salah satu pengungsi di Dusun Sajang. Menurutnya, penyiagaan tenaga medis di posko pengungsian sangat dibutuhkan warga. Apalagi, jika ada pengungsi yang membutuhkan penanganan secara cepat.
"Biasanya kalau ada yang sakit kemudian gak ada petugas, kita di bantu sama ada anak-anak mahasiswa yang sedang KKN, sekedar untuk obat. Tapi kalau periksa, tunggu dokternya datang, tunggu giliran karena petugasnya keliling, gak satu tempat," katanya.
Ela, bersama para pengungsi lainnya berharap ada tenaga medis yang tetap berada di posko pengungsian. Kalau pun belum bisa di tempatkan secara permanen paling tidak ada petugas yang setiap waktu untuk menyempatkan diri untuk melihat posko pengungsian. "Harapannya tetap ada petugas," tambahnya.
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018
Tags: