Jakarta (ANTARA News) - Aroma angker tak lepas dari bangunan-bangunan bersejarah yang diliputi kisah-kisah tragis penuh darah seperti Balaikota Batavia, yang kini menjadi Museum Fatahillah.

Sutradara Adisurya Abdy meraciknya menjadi drama berbumbu sejarah dan romansa "Sara & Fei, Stadhuis Schandaal".

"Ini basisnya drama dengan paduan masa lalu dan masa kini yang disajikan dengan irama pop dan selera kekinian," kata Adisurya yang kembali ke bangku sutradara setelah "libur panjang" selama 14 tahun.

Sesuai judulnya yang berbau Belanda, "Sara & Fei, Stadhuis Schandaal" mengangkat tema sejarah yang dipadukan dengan kehidupan masa kini.

Fei (Amanda Rigby) adalah seorang mahasiswi yang sedang melakukan riset tugas akhir di kawasan Kota Tua, Museum Fatahillah. Di sana, dia berjumpa dengan perempuan misterius blasteran Belanda-Jepang bernama Sara (Tara Adia).
Adegan film "Sara & Fei, Stadhuis Schandaal". (Xela Pictures)


Sosok Sara yang berasal dari dunia lain tak bisa lepas dari pikiran Fei. Semenjak melihatnya di Kota Tua, Sara kerap menghantuinya.

Ketika keduanya bertemu lagi, gadis bernama lengkap Saartjie Specx itu membawa Fei melewati lorong waktu ke masa Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon masih memerintah Batavia, di mana skandal cinta Sara dan kekasihnya Pieter berakhir tragis.

Saksi bisu romansa menyedihkan Sara dan kekasihnya adalah balaikota yang kini jadi Museum Fatahillah (Stadhuis Schandaal artinya Skandal Balaikota).
Adegan film "Sara & Fei, Stadhuis Schandaal". (Xela Pictures)


Fei tak cuma bergulat dengan masa lalu, dia juga harus berhadapan dengan kehidupan percintaannya yang berliku. Hubungannya dengan sang kekasih, Chiko (Haniv Hawakin), mulai memburuk. Pada saat yang sama, muncul pria lain di Shanghai yang membuat hatinya bergetar.

Meski "Sara & Fei, Stadhuis Schandaal" digadang-gadang sebagai karya baru dengan nafas modern, aroma lawas masih melingkupi film ini.

Sebagian dialognya relevan dengan situasi masa kini, misalnya hoax, tapi ada juga yang masih terdengar kaku, terutama bagi penonton milenial.

Selain Kota Tua, pihak produksi juga membuat set berupa tangsi dan benteng Belanda di atas tanah seluas 1.500 m2 di Pasar Minggu. Suasana masa lampau didapat dengan menggabungkan set tersebut dengan CGI, yang patut diapresiasi meski belum maksimal.

Untuk memperluas pasar hingga ke Tiongkok, film ini juga mengambil Shanghai sebagai lokasi pengambilan gambar. Namun cerita romansa Fei di Shanghai lebih terasa jadi distraksi dari plot utama, bukannya melengkapi.

Adegan film "Sara & Fei, Stadhuis Schandaal". (Xela Pictures)



Berpotensi

"Stadhuis Schandaal" berpotensi menjadi film yang menyenangkan bagi pencinta sejarah. Sayangnya banyak faktanya dilontarkan hanya lewat dialog, bukan visual memikat.

Selain itu cerita sempalannya terlalu banyak, terlalu lama mengalihkan perhatian penonton dari alur cerita utama. Akhirnya juga klise: yang baik bahagia, yang jahat mati.

Di luar itu semua, "Stadhuis Schandaal" bisa jadi menumbuhkan niat penonton mengulik lebih dalam sejarah Museum Fatahillah, lebih dari sekadar tempat berfoto dengan sepeda ontel sambil mengenakan topi plesir warna-warni.

Film ini juga menghadirkan pemain pendukung yang sudah malang melintang di industri film Tanah Air seperti Anwar Fuady, George Mustafa Taka, Rowiena Umboh, Rensy Millano, Tio Duarte, Septian Dwi Cahyo, Iwan Burnani, Julian Kunto, Aby Zabit El Zufri serta pemain pendukung seperti Lady Salsabyla, Ricky Cuaca, Stephanie Ady, Iqbal Alif, Andhika Ariesta dan Yurike Cindy.

Areng Widodo, pemusik senior yang pernah beberapa kali bekerja sama dengan Adisurya Abdy, menjadi penata musik untuk film ini dan menyajikan kembali lagu ciptaannya "Syair Kehidupan" yang diaransemen ulang serta dinyanyikan oleh Hilda Ridwan Mas.
Adegan film "Sara & Fei, Stadhuis Schandaal". (Xela Pictures)