Citeureup, Bogor (ANTARA News) - Mantan Menteri Negara Kependudukan Lingkungan Hidup (Menneg KLH), Emil Salim, mengemukakan bahwa pabrik semen termasuk industri ekstraktif yang mempunyai "penyakit lingkungan" cukup banyak, namun di Jepang, industri semen bisa tumbuh di tengah kota, tanpa pencemaran debu. Dengan rujukan di Jepang tersebut, menurut dia, di Bogor, Senin, maka hal serupa bisa diwujudkan juga di Indonesia, termasuk di Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar), salah satu lokasi beroperasinya pabrik PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, yang sudah memasuki usia 32 tahun pada 4 Agustus 2007. "Yang saya lihat di Jepang, pabrik semen bisa tumbuh di tengah kota, dan kadar pencemaran tidak ada, karena ada `electro precipitator` yang menghisap debu, praktis tidak ada debu-debu semen itu," katanya di Citeureup, Kabupaten Bogor, Senin. Ia mengemukakan hal itu pada peringatan HUT ke-32 Indocement, yang juga dihadiri oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir Achmad Ansori Matjjik, MSc, karyawan perusahaan semen itu, serta pejabat di lingkungan Pemkab Bogor. Menurut dia, sifat ekstraktif industri semen itu, karena pertama, mengelola sumberdaya alam (SDA) yang tidak diperbaharui, yakni menggali bahan baku semen, dan meninggalkan lobang. Kedua, di dalam proses perubahan bahan baku menjadi semen, menurut hukum termodinamika manusia itu tidak bisa mencipta, tapi mentransformasi SDA. "Dan waktu transformasi itu melepaskan pencemaran. Sebanyak 40 persen zat energi yang masuk dalam mengubah semen menghasilkan pencemaran, jadi Indocement adalah calon membikin lubang di dalam tanah, dan melahirkan pencemaran oleh energi," katanya. Pertanyaannya kemudian, kata dia, bagaimana 18 tahun lagi --saat Indocement berusia 50 tahun-- apakah lubang-lubang itu akan tetap ada, dan apakah pencemaran kemudian mencekik kehidupan penduduk kota. Langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan pembangunan berkelanjutan dengan kata kunci "ecological efficiency" (eco-efficiency). "Itu berarti pertama harus membangun produk semen dengan energi bersih, dan energi bersih itu tidak dari `fossil fuel` tapi dari `renewable energy`," katanya. Karena itu, ia menilai langkah Indocement mengembangkan sampah, bahan "renewable", serta bahan-bahan lain dari "fossil fuel" untuk membangun energi sebagai langkah yang baik. "(Langkah) itu sudah baik. Ujung pangkalnya nanti adalah menghapus semua `fossil fuel` dan menggantinya dengan `renewable energy`," katanya. Untuk itu, Emil Salim menegaskan bahwa Indocement harus menuju ke cara pengendalian pencemaran yang baik, seperti yang dilakukan di Jepang, di mana keberadaan industri semen yang ada di tengah kota pun, bisa meniadakan pencemaran debu. Direktur Sumberdaya Manusia (SDM) Indocement, Kuky Permana menjelaskan, 40-45 persen komponen operasional industri semen adalah untuk energi --dalam hal ini batubara. Pihaknya bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengembangkan jarak pagar (Jatropa curcas Linn), sebagai bahan energi alternatif yang sifatnya terbarukan (renewable), selain juga menggunakan sampah yang diolah, batok tempurung kelapa dan lainnya. Saat ini, energi non-batubara itu baru mencapai 2,6 persen dari kebutuhan yang ada, dan dengan dikembangkannya jarak pagar diharapkan bisa meningkat hingga 4 persen. Ia mengatakan, pada lahan seluas 32 hektar --yang umumnya bekas penambangan di area pabrik kawasan Citeureup--sejak Pebruari 2007, telah ditanami pohon jarak, yang dilakukan bekerjasama dengan Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM), IPB. Kerjasama dengan IPB itu dilakukan guna menghasilkan buah jarak pagar yang baik dan bermutu, sebagai komponen dasar pembuatan minyak jarak sebagai biodiesel. (*)