Dirut PLN penuhi panggilan KPK
20 Juli 2018 11:16 WIB
Direktur Utama PLN Sofyan Basir memberikan keterangan pers tentang penggeledahan kediamannya oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Senin (16/7/2018). PLN menyatakan menghormati proses hukum yang dilakukan KPK dengan mengedepankan asas praduga tidak bersalah dan membantu KPK dengan memberikan sejumlah informasi dan dokumen-dokumen terkait proyek PLTU Riau-1. (ANTARA /Aprillio Akbar)
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
"Diperiksa sebagai saksi ya," kata Sofyan saat tiba di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Jumat. Sofyan didampingi sejumlah stafnya.
Saat ditanya soal penunjukkan langsung proyek senilai 900 juta dolar AS itu, Sofyan tidak menjelaskannya kepada wartawan.
"Nggak, nggak, nggak ada," kata Sofyan.
Pada Kamis (19/7), KPK juga sudah memeriksa Menteri Sosial Idrus Marham dalam kasus yang sama. Rumah Idrus adalah lokasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Jumat (13/7) yang menjadi awal kasus ini, Idrus pun mengak kenal dengan dua orang tersangka dalam kasus tersebut yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.
Pada Minggu (15/7) petugas KPK menggeledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir sedangkan pada Senin (16/7) KPK menyita dokumen dan CCTV dari penggeledahan di kantor Pembangkit Jawa Bali (PJB) I di gedung Indonesia Power yang merupakan anak perusahaan PLN, ruang kerja Eni Maulani Saragih di gedung DPR dan Kantor Pusat PLN.
Saat OTT, KPK mengamankan sejumlah barang bukti, yaitu uang Rp500 juta dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.
Diduga penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari "commitment fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sebelumnya, Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar, yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.
Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.
Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan sebagai tersangka penerima suap yaitu Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. (T.D017)
Baca juga: KPK geledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir
Baca juga: Jaksa Agung bantah dampingi pembangunan PLTU Riau
"Diperiksa sebagai saksi ya," kata Sofyan saat tiba di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Jumat. Sofyan didampingi sejumlah stafnya.
Saat ditanya soal penunjukkan langsung proyek senilai 900 juta dolar AS itu, Sofyan tidak menjelaskannya kepada wartawan.
"Nggak, nggak, nggak ada," kata Sofyan.
Pada Kamis (19/7), KPK juga sudah memeriksa Menteri Sosial Idrus Marham dalam kasus yang sama. Rumah Idrus adalah lokasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Jumat (13/7) yang menjadi awal kasus ini, Idrus pun mengak kenal dengan dua orang tersangka dalam kasus tersebut yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.
Pada Minggu (15/7) petugas KPK menggeledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir sedangkan pada Senin (16/7) KPK menyita dokumen dan CCTV dari penggeledahan di kantor Pembangkit Jawa Bali (PJB) I di gedung Indonesia Power yang merupakan anak perusahaan PLN, ruang kerja Eni Maulani Saragih di gedung DPR dan Kantor Pusat PLN.
Saat OTT, KPK mengamankan sejumlah barang bukti, yaitu uang Rp500 juta dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.
Diduga penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari "commitment fee" sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sebelumnya, Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar, yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.
Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.
Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan sebagai tersangka penerima suap yaitu Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. (T.D017)
Baca juga: KPK geledah rumah Dirut PLN Sofyan Basir
Baca juga: Jaksa Agung bantah dampingi pembangunan PLTU Riau
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: