Politikus Golkar Fayakhun kembalikan Rp2 miliar
19 Juli 2018 21:01 WIB
Arsip Anggota Komisi I DPR fraksi Golkar Fayakhun Andriadi (tengah) berjalan keluar ruangan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/7/2018). Fayakhun menjalani pemeriksaan lanjutan terkait kasus suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla yang berasal dari APBN-P tahun anggaran 2016. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR Komisi III non-aktif dari fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi mengembalikan uang Rp2 miliar secara tunai kepada KPK.
"KPK mengonfirmasi pengembalian uang dari tersangka FA (Fayakhun Andriadi) ke KPK sebesar Rp2 miliar pada Senin (16/7). FA melalui pengecara mengembalikan secara `cash` dan kemudian disetor ke rekening penampungan dan dijadikan barang bukti dalam kasus ini," kata juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Kamis.
KPK menetapkan Fayakhun Andriadi sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji sejumlah Rp12 miliar dan 300 ribu dolar AS terkait pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembanga (RKAKL) APBN tahun 2016 yang akan diberikan kepada Badan Keamanan Laut (Bakamla).
"Pengembalian Rp2 miliar dan keterangan terkait dengan pengembalian itu tentu menjadi catatan bagi KPK. Tapi kami juga ingatkan bahwa keterangan itu tidak boleh setengah-setengah," jelas Febri.
Febri meminta agar Fayakhun harus menjelaskan secara utuh bagaimana konstruksi dari kepengurusan anggaran ini dan aliran dana yang diduga itu tidak hanya mengalir ke satu pihak saja.
"Dan itu juga jika dijelaskan secaea gamblamg tentu saja pertimbangan KPK untuk menyetujui posisi sebagai `justice collaborator` itu akan lebih kuat. Untuk saat ini kami masih mempertimbangkan karena cukup berat mempertimbangkan seseorang sebagai JC. Selain mengakui perbuatannya, ia juga harus membuka peran pihak lain yang signifikan.
Fayakhun diduga menerima `fee` atau imbalan atas jasa memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN tahun anggaran 2016 sebesar 1 persen dari total anggaran Bakamla senilai Rp1,2 triliun atau senilai 12 miliar rupiah dari tersangka pengusaha Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya M Adami Okta) secara bertahap sebanyak empat kali.
Dalam sidang Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan terungkap bahwa Fayakhun meminta uang 1 persen untuk pembahasan anggaran satellite monitoring dan drone di Bakamla di Komisi I DPR yang totalnya mencapai Rp1,2 triliun.
Fayakhun lalu meminta imbalan 1 persen dari jumlah itu yaitu Rp12 miliar yang dikonversi ke dolar AS yaitu 927 ribu dolar AS. Dari "whatsapp" antara Managing Director PT Rohde and Schwarz Erwin Arif dan Fayakhun, Fayakhun meminta agar uang imbalan itu dapat dikirim segera sebelum Munas Partai Golkar diadakan pada Mei 2016.
Fayakhun meminta imbalan 300.000 dolar AS untuk dikirim lebih dulu sebelum Munas Golkar karena uang itu untuk para petinggi.
Dana 927 ribu dolar AS itu ditransfer ke empat rekening perusahaan di luar negeri yang berada di Singapura dan Belgia. Setiap kali akan mengirim uang, Erwin selalu meminta nomor rekening tujuan kepada Fayakhun. Selanjutnya, uang akan dikirim oleh Adami Okta.
Fayakhun disangkakan melanggar 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (T.D017)
"KPK mengonfirmasi pengembalian uang dari tersangka FA (Fayakhun Andriadi) ke KPK sebesar Rp2 miliar pada Senin (16/7). FA melalui pengecara mengembalikan secara `cash` dan kemudian disetor ke rekening penampungan dan dijadikan barang bukti dalam kasus ini," kata juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Kamis.
KPK menetapkan Fayakhun Andriadi sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji sejumlah Rp12 miliar dan 300 ribu dolar AS terkait pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembanga (RKAKL) APBN tahun 2016 yang akan diberikan kepada Badan Keamanan Laut (Bakamla).
"Pengembalian Rp2 miliar dan keterangan terkait dengan pengembalian itu tentu menjadi catatan bagi KPK. Tapi kami juga ingatkan bahwa keterangan itu tidak boleh setengah-setengah," jelas Febri.
Febri meminta agar Fayakhun harus menjelaskan secara utuh bagaimana konstruksi dari kepengurusan anggaran ini dan aliran dana yang diduga itu tidak hanya mengalir ke satu pihak saja.
"Dan itu juga jika dijelaskan secaea gamblamg tentu saja pertimbangan KPK untuk menyetujui posisi sebagai `justice collaborator` itu akan lebih kuat. Untuk saat ini kami masih mempertimbangkan karena cukup berat mempertimbangkan seseorang sebagai JC. Selain mengakui perbuatannya, ia juga harus membuka peran pihak lain yang signifikan.
Fayakhun diduga menerima `fee` atau imbalan atas jasa memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN tahun anggaran 2016 sebesar 1 persen dari total anggaran Bakamla senilai Rp1,2 triliun atau senilai 12 miliar rupiah dari tersangka pengusaha Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya M Adami Okta) secara bertahap sebanyak empat kali.
Dalam sidang Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan terungkap bahwa Fayakhun meminta uang 1 persen untuk pembahasan anggaran satellite monitoring dan drone di Bakamla di Komisi I DPR yang totalnya mencapai Rp1,2 triliun.
Fayakhun lalu meminta imbalan 1 persen dari jumlah itu yaitu Rp12 miliar yang dikonversi ke dolar AS yaitu 927 ribu dolar AS. Dari "whatsapp" antara Managing Director PT Rohde and Schwarz Erwin Arif dan Fayakhun, Fayakhun meminta agar uang imbalan itu dapat dikirim segera sebelum Munas Partai Golkar diadakan pada Mei 2016.
Fayakhun meminta imbalan 300.000 dolar AS untuk dikirim lebih dulu sebelum Munas Golkar karena uang itu untuk para petinggi.
Dana 927 ribu dolar AS itu ditransfer ke empat rekening perusahaan di luar negeri yang berada di Singapura dan Belgia. Setiap kali akan mengirim uang, Erwin selalu meminta nomor rekening tujuan kepada Fayakhun. Selanjutnya, uang akan dikirim oleh Adami Okta.
Fayakhun disangkakan melanggar 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (T.D017)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: