Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) harus segera mengantisipasi pergerakan rupiah yang melemah, apabila mencapai angka Rp9.400 per dolar AS dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. "Antisipasi BI untuk menahan gejolak rupiah yang terpuruk diharapkan dapat dilakukan lebih awal, karena posisinya sangat mengkhawatirkan," kata pengamat pasar uang, Edwin Sinaga di Jakarta akhir pekan ini. Ia mengatakan, merosotnya rupiah terutama disebabkan krisis pasar perumahan AS yang menimbulkan gelombang negatif bursa Wall Street dan menjalar ke kawasan regional, termasuk Indonesia. Tekanan pasar yang cukup besar itu mengakibatkan rupiah terpuruk dari Rp9.209 menjadi Rp9.325 per dolar AS atau melemah 116 poin, namun hari berikut kembali membaik hingga di bawah level Rp9.300 per dolar AS, katanya. Rupiah, menurut dia, sepanjang pekan lalu terpuruk, meski faktor internal sendiri tidak ada masalah bahkan fundamental ekonomi makro Indonesia dinilai cukup bagus. BI sendiri memiliki cadangan devisa cukup besar yang dipersiapkan untuk mengantisipasi rupiah apabila mata uang lokal itu bergejolak. "Jadi keterpurukan rupiah murni akibat gejolak faktor eksternal yang makin menekan pertumbuhan ekonomi AS," tuturnya. Edwin Sinaga mengatakan, gejolak pasar global diperkirakan tidak akan berlangsung lama, rupiah akan kembali membaik di kisaran antara Rp9.200 hingga Rp9.250 per dolar AS. Namun apabila rupiah terus terpuruk mencapai level Rp9.450 per dolar AS, pemerintah dan BI harus segera turun tangan untuk menahan gejolak yang terus merosot, katanya. Menurut dia, merosotnya rupiah memang tidak sendirian, sejumlah mata uang utama Asia lainnya juga tertekan, karena kekhawatiran investor asing terhadap merosotnya pasar sektor perumahan AS.(*)