Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan keterlibatan anggota DPR RI terkait kasus tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

"KPK sangat menyesalkan peristiwa seperti ini terjadi kembali, terutama karena sejumlah pihak menyalahgunakan posisi, kewenangan dan pengaruhnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi pada sebuah pekerjaan besar yang diharapkan dapat memberikan manfaat pada masyarakat," kata kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu.

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka yaitu anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih (EMS) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK).

"Niat baik untuk memaksimalkan akses masyarakat mendapatkan listrik melalui proyek pembangkit listrik 35.000 MW diduga disalahgunakan oleh sejumlah pihak yang meminta atau menerima fee," ujar Basaria lagi.

Dalam tangkap tangan terkait kasus itu, kata dia, KPK mendapatkan sejumlah bukti adanya dugaan persekongkolan dan penerimaan uang sebagai fee terkait salah satu dari proyek pembangkit listrik 35.000?MW tersebut.

KPK pun mengingatkan kembali agar para penyelenggara negara tidak meminta atau menerima suap, memperjualbelikan pengaruh dan kewenangan yang dimiliki.

KPK pun mengimbau seluruh elemen bangsa ini untuk tidak melakukan praktik korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, terutama terkait pekerjaan-pekerjaan besar yang diharapkan dapat bermanfaat langsung bagi masyarakat, baik proyek pembangkit listrik, infrastruktur, alokasi anggaran khusus atau kebijakan-kebijakan lain.

"Seluruh sumber daya yang ada bisa semaksimal mungkin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sektor energi yang melingkupi hajat hidup orang banyak menjadi perhatian serius bagi KPK," katanya lagi.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait tindak pidana, yaitu uang sejumlah Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.?

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

"Diduga, penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari pengusaha JBK kepada EMS dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta," kata Basaria lagi.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.

"Diduga peran EMS adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1," kata Basaria.

Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Sesuai pasal itu, ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.