Jakarta (ANTARA News) - Begitu kesebelasan Irak mengalahkan kesebelasan Arab Saudi dengan skor 1-0 di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, 29 Juli 2007, serta merta kemenangan itu disiarkan penyaji berita televisi CNN Amerika Serikat, dengan gairah dan gembira. Tak disangka, Irak yang dianggap "kuda hitam" di gelanggang persepakbolaan mampu meraih kemenangan secara dramatis, lalu dinobatkan sebagai juara sepakbola Asia 2007, sekaligus meraih Piala Asia. Kontan kemenangan itu dirayakan oleh rakyat Irak secara gegap gempita. "Shouts and shots in Baghdad," kata CNN. Rakyat kota Baghdad, ibukota Irak, turun ke jalanan, melambai-lambaikan bendera nasional, berteriak-teriak kesenangan. Anggota tentara dan polisi melepaskan tembakan ke udara menunjukkan sukacitanya. Seorang warga Irak yang tinggal di London, Inggris, dan secara pribadi kenal dengan tujuh orang dari sebelas pesepakbola Irak memuji tim nasional asuhan pelatih Jorvan Vieira asal Brazil yang berhasil mempersatukan bangsa. "I am overwhelmed (kegembiraanku meluap-luap)," ujarnya. Sebab di dalam kesebelasan itu tidak dikenal perbedaan antara kaum Sunni dengan Syiah, maupun Kurdi, yang sejak invasi tentara AS-Inggris empat tahun lalu, "berantem" satu sama lain, mengakibatkan ribuan rakyat mati atau luka-luka akibat serangan-serangan pelaku pengeboman diri sendiri. Semua anggota kesebelasan merasa pertama-tama sebagai putra Irak. Prestasi kesebelasan Irak merupakan suatu terobosan. Ia mencairkan kebekuan, permusuhan antara sesama bangsa Irak. Ia menyadarkan kembali akan tali ikatan historis mereka yang telah diputus oleh "kekuatan luar serta asing" dari negeri-negeri Barat, Arab, Persia, dan lain-lain. Perdana Menteri Irak Al Maliki begitu bangga hingga pemerintah akan memberikan hadiah penghargaan sebesar 10 ribu dolar AS kepada masing-masing pemain. Apakah kemenangan kesebelasan Irak itu hanya bersifat sesaat belaka ataukah meninggalkan dampak yang lebih tahan lama? Ini harus dilihat dalam perkembangan Irak selanjutnya. Yang jelas bagi orang-orang yang mempelajari ilmu modernisasi, sepakbola dapat merupakan faktor pemersatu (unifying factor) dalam proses modernisasi dan perkembangan nasionalisme. Dapat dipahami, jika ada istilah dalam bahasa Belanda: "voetbal-nationalisme". Pada awal tahun 1960-an saya bersama almarhum Dr Soejatmoko, almarhum Dr Tahi Bonar Simatupang, almarhum PK Oyong SH, tergolong "students of modernization". Masa itu tak lama pasca Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955) menyaksikan timbulnya banyak negara baru merdeka. Di Afrika misalnya, Tunisia, Gold Coast (Ghana), Senegal, Mali, Konggo, Nigeria, dan lain-lain. Masa itu sekelompok pakar ilmu politik dan ekonomi mempelajari proses modernisasi yang tengah dialami oleh negeri-negeri terbelakang. Apakah yang dimaksudkan dengan modernisasi? Barbara Ward, warga Inggris, ekonom perempuan yang melakukan penelitian di Afrika Barat memberikan sebuah definisi yang mudah dimengerti. Ia berkata, "Modernisasi adalah memberikan kepada rakyat harapan bahwa hari sekarang lebih bagus daripada kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari kini." Kata kuncinya ialah harapan alias "hope". Tak asing bagi Islam Ketika tahun 1962, saya menghadiri sebuah konferensi internasional di Manila, Filipina, yang mengaji soal-soal kebudayaan, seorang peserta mengatakan bahwa modernisasi tidaklah asing bagi Islam. Dalam kita suci Al Quran terdapat ayat yang mendukung modernisasi. Yang mengherankan saya ialah keterangan itu diucapkan oleh seorang Romo Jesuit Katholik yang mengajar di sebuah universitas. Yang dikutipnya ialah ayat 4 surat ke-39 Adh-Dhuha yang berbunyi, "Wa`l akhiru khoir laka minal ula" (Dan sesungguhnya akhir itu lebih bagus bagimu dari permulaan). Maksud dan tafsirnya bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad SAW akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan. Faktor pemersatu lain dalam modernisasi adalah bahasa, khususnya bahasa bersama, "lingua franca" seperti Bahasa Indonesia, selanjutnya pendidikan, tentara, dan sebagainya. Di negeri-negeri yang sedang berkembang tentara atau militer bisa merupakan faktor pemersatu seperti terjadi di beberapa negara di Amerika Latin dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi tentara bisa pula menjadi alat penindas rakyat seperti terjadi sekarang di Myanmar. Pendidikan penting sebagai faktor pemersatu. Pendidikan membentuk nilai-nilai, perilaku, sikap dan pandangan bersama yang mendorong persatuan bangsa. Bangsa dan masyarakat Irak menderita akibat kekacauan, tidak adanya keamanan pasca invasi tentara AS-Inggris. Sekonyong-konyong lantaran kemenangan kesebelasan Irak yang tak disangka-sangka, bangkitlah kembali semangat nasionalisme yang mempersatukan mereka. Ini manifestasi dari "voetbal-nationalisme" yang tak boleh diremehkan maknanya. Ini menunjukkan bahwa dalam pembinaan bangsa atau "nation-building" tidak selalu dominan arti uang dan materi, tetapi juga hal-hal yang berada dalam alam kerohanian dan jiwa semangat penting peran dan fungsinya. Indonesia yang kini terpuruk ekonominya perlu menimbulkan kembali harapan untuk menyelesaikan tuntas proses modernisasi, perlu menghayati kembali nilai-nilai serta sikap yang telah mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan pada 62 tahun yang lalu. (*)