Jepang lebih terancam bencana akibat cuaca
12 Juli 2018 20:50 WIB
Warga setempat berhenti sejenak saat mencoba membersihkan puing di wilayah terdampak banjir di kota Mabi, Kurashiki, perfektur Okayama, Jepang, Selasa (10/7/2018). (REUTERS/Issei Kato)
Kurashiki, Jepang (ANTARA News) - Jepang lebih terancam mengalami cuaca buruk dan harus menemukan cara untuk mengurangi bencana, kata juru bicara pemerintah Jepang, Kamis.
Hal itu disampaikan setelah cuaca panas dan kekurangan air meningkatkan ketakutan akan penyakit di antara penyintas bencana cuaca terburuk dalam 36 tahun belakangan.
Hujan deras, yang melanda Jepang barat seminggu lalu, menyebabkan banjir dan longsor, menewaskan 200 orang, sebagian besar terjadi di masyarakat yang beberapa dasawarsa tinggal di lereng gunung dan dataran banjir, yang sebagian besar tidak terganggu badai.
Namun, cuaca buruk menghantam negara itu lebih sering dalam beberapa tahun belakangan, menimbulkan pertanyaan tentang dampak pemanasan global. Puluhan orang tewas dalam bencana serupa pada tahun lalu.
"Kenyataan tidak terbantahkan bahwa bencana semacam ini, yang disebabkan hujan deras, yang belum pernah terjadi, menjadi lebih sering dalam beberapa tahun belakangan," kata Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga, pada jumpa pers di Tokyo.
Menyelamatkan nyawa adalah tugas terbesar pemerintah, katanya.
"Kami menyadari bahwa ada kebutuhan untuk melihat langkah-langkah yang dapat kami ambil untuk mengurangi dampak dari bencana seperti ini bahkan jika sedikit," katanya.
Dia tidak menjelaskan langkah apa yang bisa diambil pemerintah.
Lebih dari 200.000 rumah tangga tidak memiliki pasokan air bersih selama seminggu setelah bencana melanda dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Dengan suhu mulai dari 31-34 derajat Celcius (86 hingga 93 derajat Fahrenheit) dan kelembaban tinggi, kehidupan di gedung sekolah dan pusat pengungsian lain, tempat keluarga tinggal beralaskan tikar di lantai, mulai mengambil korban.
Tayangan televisi menunjukkan seorang wanita tua mencoba tidur dengan berlutut di kursi lipat, lengan menutupi matanya untuk melindungi dari cahaya.
Jumlah kipas angin di pusat-pusat evakuasi yang sedikit menyebabkan banyak penyintas menggunakan kipas kertas agar tetap sejuk.
Pasokan air yang ketat menyebabkan orang-orang itu tidak mendapatkan cukup cairan dan dalam bahaya menderita serangan panas, kata pihak berwenang.
"Tanpa air, kita tidak bisa benar-benar membersihkan apa-apa. Kita tidak bisa mencuci apa pun," kata seorang pria kepada televisi NHK.
Pemerintah mengirimkan truk air tetapi persediaan masih terbatas.
Perdana Menteri Shinzo Abe, dalam kunjungan ke Kota Kurashiki, berjanji untuk memberikan bantuan sesegera mungkin. Dia dijadwalkan untuk mengunjungi dua daerah yang terkena dampak lainnya pada Jumat dan akhir pekan.
Lebih dari 70.000 militer, polisi dan petugas pemadam kebakaran bekerja keras menyisir puing-puing untuk mencari korban tewas.
Tim menggunakan penggali dan gergaji untuk membersihkan tanah longsor dan memotong reruntuhan bangunan dan pohon.
Banyak wilayah masih terkubur lumpur berbau menyengat dan kemudian mengeras karena cuaca panas.
Hal itu disampaikan setelah cuaca panas dan kekurangan air meningkatkan ketakutan akan penyakit di antara penyintas bencana cuaca terburuk dalam 36 tahun belakangan.
Hujan deras, yang melanda Jepang barat seminggu lalu, menyebabkan banjir dan longsor, menewaskan 200 orang, sebagian besar terjadi di masyarakat yang beberapa dasawarsa tinggal di lereng gunung dan dataran banjir, yang sebagian besar tidak terganggu badai.
Namun, cuaca buruk menghantam negara itu lebih sering dalam beberapa tahun belakangan, menimbulkan pertanyaan tentang dampak pemanasan global. Puluhan orang tewas dalam bencana serupa pada tahun lalu.
"Kenyataan tidak terbantahkan bahwa bencana semacam ini, yang disebabkan hujan deras, yang belum pernah terjadi, menjadi lebih sering dalam beberapa tahun belakangan," kata Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga, pada jumpa pers di Tokyo.
Menyelamatkan nyawa adalah tugas terbesar pemerintah, katanya.
"Kami menyadari bahwa ada kebutuhan untuk melihat langkah-langkah yang dapat kami ambil untuk mengurangi dampak dari bencana seperti ini bahkan jika sedikit," katanya.
Dia tidak menjelaskan langkah apa yang bisa diambil pemerintah.
Lebih dari 200.000 rumah tangga tidak memiliki pasokan air bersih selama seminggu setelah bencana melanda dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Dengan suhu mulai dari 31-34 derajat Celcius (86 hingga 93 derajat Fahrenheit) dan kelembaban tinggi, kehidupan di gedung sekolah dan pusat pengungsian lain, tempat keluarga tinggal beralaskan tikar di lantai, mulai mengambil korban.
Tayangan televisi menunjukkan seorang wanita tua mencoba tidur dengan berlutut di kursi lipat, lengan menutupi matanya untuk melindungi dari cahaya.
Jumlah kipas angin di pusat-pusat evakuasi yang sedikit menyebabkan banyak penyintas menggunakan kipas kertas agar tetap sejuk.
Pasokan air yang ketat menyebabkan orang-orang itu tidak mendapatkan cukup cairan dan dalam bahaya menderita serangan panas, kata pihak berwenang.
"Tanpa air, kita tidak bisa benar-benar membersihkan apa-apa. Kita tidak bisa mencuci apa pun," kata seorang pria kepada televisi NHK.
Pemerintah mengirimkan truk air tetapi persediaan masih terbatas.
Perdana Menteri Shinzo Abe, dalam kunjungan ke Kota Kurashiki, berjanji untuk memberikan bantuan sesegera mungkin. Dia dijadwalkan untuk mengunjungi dua daerah yang terkena dampak lainnya pada Jumat dan akhir pekan.
Lebih dari 70.000 militer, polisi dan petugas pemadam kebakaran bekerja keras menyisir puing-puing untuk mencari korban tewas.
Tim menggunakan penggali dan gergaji untuk membersihkan tanah longsor dan memotong reruntuhan bangunan dan pohon.
Banyak wilayah masih terkubur lumpur berbau menyengat dan kemudian mengeras karena cuaca panas.
Pewarta: ANTARA
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018
Tags: