Jepang hadapi lebih banyak bencana, korban banjir capai 200
12 Juli 2018 18:31 WIB
Polisi mencari kemungkinan korban selamat di sekitar rumah yang terkubur tanah dan pasir akibat hujan lebat di distrik Tenno, Kure, Perfektur Hiroshima, Jepang, dalam foto yang diambil Kyodo, Rabu (11/7/2018). (Mandatory credit Kyodo/via REUTERS)
Kurashiki, Jepang (ANTARA News) - Jepang terancam menghadapi lebih banyak cuaca ekstrim dan harus merencanakan cara menghadapi bencana, kata juru bicara pemerintah setempat pada Kamis.
Cuaca sangat panas dan kelangkaan air membuat ancaman semakin besar bagi penyintas bencana banjir dan longsor pada pekan lalu.
Hujan deras di kawasan barat Jepang menyebabkan bencana cuaca terburuk di negara tersebut sepanjang 36 tahun belakangan dan menewaskan sedikit-dikitnya 200 orang, yang sebagian besar tinggal beberapa dasawarsa di lereng pegunungan.
Ancaman bencana semakin bertambah dengan cuaca ekstrim, yang melanda Jepang secara lebih rutin dalam beberapa tahun belakangan, yang diduga disebabkan pemanasan global. Puluhan orang tewas bencana serupa pada tahun lalu.
"Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa bencana ini disebabkan hujan sangat deras yang lebih sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir," kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga dalam konferensi pers di Tokyo.
Menyelamatkan nyawa warga adalah tugas utama dari pemerintah, kata Suga.
"Kami mengakui bahwa ada kebutuhan untuk mencari cara agar kami bisa mengurangi kerusakan akibat bencana seperti ini, sekecil apapun itu," kata dia.
Suga tidak menjabarkan dengan lebih rinci apa langkah yang akan diambil pemerintah.
Lebih dari 200.000 rumah tangga Jepang pada pekan ini tidak mempunyai akses terhadap air bersih setelah bencana banjir melanda. Sementara itu ribuan orang harus kehilangan rumah.
Dengan temperatur udara mencapai 31 sampai 34 derajat Celcius dengan kelembaban tinggi, kehidupan di sekolah-sekolah dan tempat penampungan evakuasi lainnya, di mana para keluarga korban bertahan dengan tikar, mulai mengalami kesulitan.
Gambar dari televisi menunjukkan seorang perempuan tua berupaya berlutut di sebuah kursi lipat, sementara tangannya menutup mata untuk menghindari cahaya.
Karena sedikitnya kipas angin di pusat penampungan, banyak orang yang terpaksa membuat kipas dari kertas untuk sedikit menurunkan suhu udara.
"Tanpa air, kami tidak bisa membersihkan apapun. Kami tidak bisa mencuci apapun," kata seorang pria kepada stasiun televisi NHK.
Pemerintah telah mengirim truk air, namun masih terbatas.
Pada Kamis, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, mengunjungi Kurashiki, dan menjanjikan bantuan secepat mungkin. Dia juga berencana mengunjungi dua wilayah bencana lain pada Jumat dan akhir pekan.
Lebih dari 70.000 petugas gabungan militer, polisi, dan pemadam kebakaran mencari korban di antara reruntuhan bangunan.
Cuaca sangat panas dan kelangkaan air membuat ancaman semakin besar bagi penyintas bencana banjir dan longsor pada pekan lalu.
Hujan deras di kawasan barat Jepang menyebabkan bencana cuaca terburuk di negara tersebut sepanjang 36 tahun belakangan dan menewaskan sedikit-dikitnya 200 orang, yang sebagian besar tinggal beberapa dasawarsa di lereng pegunungan.
Ancaman bencana semakin bertambah dengan cuaca ekstrim, yang melanda Jepang secara lebih rutin dalam beberapa tahun belakangan, yang diduga disebabkan pemanasan global. Puluhan orang tewas bencana serupa pada tahun lalu.
"Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa bencana ini disebabkan hujan sangat deras yang lebih sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir," kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga dalam konferensi pers di Tokyo.
Menyelamatkan nyawa warga adalah tugas utama dari pemerintah, kata Suga.
"Kami mengakui bahwa ada kebutuhan untuk mencari cara agar kami bisa mengurangi kerusakan akibat bencana seperti ini, sekecil apapun itu," kata dia.
Suga tidak menjabarkan dengan lebih rinci apa langkah yang akan diambil pemerintah.
Lebih dari 200.000 rumah tangga Jepang pada pekan ini tidak mempunyai akses terhadap air bersih setelah bencana banjir melanda. Sementara itu ribuan orang harus kehilangan rumah.
Dengan temperatur udara mencapai 31 sampai 34 derajat Celcius dengan kelembaban tinggi, kehidupan di sekolah-sekolah dan tempat penampungan evakuasi lainnya, di mana para keluarga korban bertahan dengan tikar, mulai mengalami kesulitan.
Gambar dari televisi menunjukkan seorang perempuan tua berupaya berlutut di sebuah kursi lipat, sementara tangannya menutup mata untuk menghindari cahaya.
Karena sedikitnya kipas angin di pusat penampungan, banyak orang yang terpaksa membuat kipas dari kertas untuk sedikit menurunkan suhu udara.
"Tanpa air, kami tidak bisa membersihkan apapun. Kami tidak bisa mencuci apapun," kata seorang pria kepada stasiun televisi NHK.
Pemerintah telah mengirim truk air, namun masih terbatas.
Pada Kamis, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, mengunjungi Kurashiki, dan menjanjikan bantuan secepat mungkin. Dia juga berencana mengunjungi dua wilayah bencana lain pada Jumat dan akhir pekan.
Lebih dari 70.000 petugas gabungan militer, polisi, dan pemadam kebakaran mencari korban di antara reruntuhan bangunan.
Pewarta: ANTARA
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018
Tags: