Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Asep Rahmat Suwandha menyatakan di Provinsi Aceh masih terkendala dengan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.

"Di Aceh, kami punya banyak kendala. Misalnya, untuk pengadaan barang dan jasa walaupun dia secara organisasi sudah mandiri tetapi orang di dalam yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa itu belum sepenuhnya menjadi pegawai negeri sehingga masih ada risiko intervensi dari pihak-pihak yang lain," kata Asep dalam diskusi di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

KPK baru saja menetapkan empat tersangka tindak pidana korupsi suap terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018.

Empat tersangka itu dalah Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Provinsi Aceh Ahmadi serta dua orang dari unsur swasta masing-masing Hendri Yuzal dan T Syaiful Bahri.

"Kemudian juga misalnya, kami mensyaratkan supaya pengumuman untuk paket-paket pengadaan itu agar dilaksanakan tepat waktu, ini pun belum mampu dilaksanakan karena mungkin kapasitas SDM dan lain-lain," ungkap Asep.

Sementara untuk pengelolaan APBD, kata Asep, Provinsi Aceh sebenarnya sudah mempunyai sistem perencanaan.

"Namun, dalam praktiknya misalnya untuk anggaran Tahun 2018 kemarin ada masalah adanya ketidaksepakatan antara Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sehingga kemudian terjadilah untuk anggaran Pemerintah Aceh Tahun 2018 tidak dikeluarkan perda tetapi pergub. Jadi, sistem ini sudah ada tetapi dalam pelaksanaannya ternyata sistemnya tidak maksimal," ujarnya.

Demikian juga, lanjut dia, bahwa mulai 2018 kebijakan terkait dana otonomi khusus tersebut berubah.

"Yang tadinya ada di masing-masing kabupaten dan kota, sekarang dana otonomi khusus ini dipusatkan di provinsi," ungkap Asep.

Sedangkan untuk Kabupaten Bener Meriah, ia menyatakan bahwa daerah tersebut sama sekali tidak mempunyai sistem informasi yang memadai.

"Hampir semua aktivitas pengadaan, pelayanan itu dilakukan manual. Satu-satunya yang mereka punya sistem keuangan yang dibuat BPKP sehingga risiko korupsi besar," kata dia.

Diduga sebagai penerima dalam kasus itu adalah Irwandi Yusuf, Hendri Yuzal, dan T Syaiful Bahri. Sedangkan diduga sebagai pemberi adalah Ahmadi.

Diduga pemberian oleh Bupati Bener Meriah kepada Gubernur Aceh sebesar Rp500 juta bagian dari Rp1,5 miliar yang diminta Gubernur Aceh terkait "fee" ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) pada Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2018.

Pemberian tersebut merupakan bagian dari komitmen "fee" delapan persen yang menjadi bagian untuk pejabat di Pemerintah Aceh dari setiap proyek yang dibiayai dari dana DOKA.

Pemberian kepada Gubernur dilakukan melalui orang-orang dekat Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah yang bertindak sebagai perantara.

KPK pun masih mendalami dugaan penerimaan-penerimaan sebelumnya.

Dalam kegiatan operasi tangkap tangan terkait kasus itu, KPK total mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait tindak pidana, yaitu uang sebesar Rp50 juta dalam pecahan seratus ribu rupiah, bukti transaksi perbankan Bank BCA dan Bank Mandiri, dan catatan proyek.

KPK pun telah menahan empat tersangka itu di empat lokasi yang berbeda selama 20 hari ke depan masing-masing Irwandi Yusuf di Rutan Cabang KPK di belakang gedung Merah Putih KPK, Ahmadi di Rutan Cabang KPK di Pomdam Jaya Guntur, Hendri Yuzal di Ritan Polres Jakarta Pusat, dan T Syaiful Bahri Rutan Polres Jakarta Selatan.

Sebagai pihak yang diduga pemberi, Ahmadi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Irwandi Yusuf, Hendri Yuzal, dan T Syaiful Bahri disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.