Myanmar tangkap puluhan pengungsi Rohingya yang pulang
5 Juli 2018 11:34 WIB
Pengungsi Rohingya Myanmar saling berpelukan dan menangis pada pagi Lebaran Idulfitri 1439 H di penampungan sementara komplek SKB Cot Gapu, Bireuen, Provinsi Aceh. Jumat (15/6/2018). Para pengungsi larut dalam kesedihan mengingat keluarga mereka yang meninggal dunia dan rasa terharu merasakan kenyamanan selama beribadah Ramadan dan ber Idul Fitri di Aceh. (ANTARA /Rahmad)
Jenewa (ANTARA News) - Myanmar menahan puluhan pengungsi Rohingya yang mencoba pulang, kata kepala hak asasi manusia PBB, Rabu (4/7), meragukan ketulusan program repatriasi pemerintah.
Myanmar mengatakan pihaknya siap menerima kembali sebagian dari 700.000 muslim
Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus. Namun, sejauh ini kurang dari 200 orang yang dimukimkan kembali di tanah air mereka di negara bagian Rakhine, Myanmar utara.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra’ad Al Hussein mengatakan kantornya menerima laporan bahwa 58 warga Rohingya yang berusaha pulang ke Rakhine ditangkap dan dihukum atas tuduhan yang tidak diungkapkan.
Baca juga: Rangkaian pembunuhan buat kampung pengungsi Rohingya di Bangladesh mencekam
“Mereka kemudian mendapatkan grasi, tapi hanya dipindahkan dari penjara Buthidaung ke ‘pusat penerimaan’ yang kondisinya tampaknya sama saja dengan penahanan administratif,” kata Zeid dalam laporan lisan mengenai krisis tersebut di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
“Perwakilan pemerintah telah berulang kali menyatakan bahwa Myanmar siap untuk menerima orang-orang yang kembali, namun banyak atau setidaknya beberapa dari mereka yang pulang atas kemauan sendiri ditahan,” imbuh Zeid.
Myanmar menandatangani perjanjian dengan Bangladesh dan PBB yang menetapkan kerangka kerja untuk repatriasi Rohingya dalam skala besar.
Namun, hanya segelintir pengungsi yang memutuskan pulang, sementara pejabat bantuan senior menegaskan bahwa Rakhine masih terlalu berbahaya untuk repatriasi.
Penduduk Rohingya melarikan diri dari operasi militer pada Agustus yang menurut saksi mata dikarenakan terjadi pemerkosaan oleh pasukan keamanan, eksekusi tanpa melalui proses peradilan dan tindakan kekerasan brutal, yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis.
Baca juga: Laporan terbaru, Myanmar lanjutkan pembersihan etnis Rohingya
Zeid mengatakan ada bukti bahwa kekejaman di Rakhine sedang berlangsung, termasuk pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah Rohingya.
Ia menambahkan, lebih dari 11.000 orang melarikan diri dari Rakhine tahun ini, di mana hal itu sebagai tanda kekejaman masih memaksa orang untuk melarikan diri.
Sementara itu, delegasi Myanmar menyebut laporan Zeid "terdistorsi" dan bersikeras bahwa pihaknya bekerja untuk mempercepat proses repatriasi bagi mereka yang mengungsi dengan hak yang sah untuk kembali. Demikian dilansir Kantor Berita AFP.
Baca juga: UNHCR: Rohingya masih terancam kekerasan dan penganiayaan di Myanmar
Myanmar mengatakan pihaknya siap menerima kembali sebagian dari 700.000 muslim
Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus. Namun, sejauh ini kurang dari 200 orang yang dimukimkan kembali di tanah air mereka di negara bagian Rakhine, Myanmar utara.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra’ad Al Hussein mengatakan kantornya menerima laporan bahwa 58 warga Rohingya yang berusaha pulang ke Rakhine ditangkap dan dihukum atas tuduhan yang tidak diungkapkan.
Baca juga: Rangkaian pembunuhan buat kampung pengungsi Rohingya di Bangladesh mencekam
“Mereka kemudian mendapatkan grasi, tapi hanya dipindahkan dari penjara Buthidaung ke ‘pusat penerimaan’ yang kondisinya tampaknya sama saja dengan penahanan administratif,” kata Zeid dalam laporan lisan mengenai krisis tersebut di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
“Perwakilan pemerintah telah berulang kali menyatakan bahwa Myanmar siap untuk menerima orang-orang yang kembali, namun banyak atau setidaknya beberapa dari mereka yang pulang atas kemauan sendiri ditahan,” imbuh Zeid.
Myanmar menandatangani perjanjian dengan Bangladesh dan PBB yang menetapkan kerangka kerja untuk repatriasi Rohingya dalam skala besar.
Namun, hanya segelintir pengungsi yang memutuskan pulang, sementara pejabat bantuan senior menegaskan bahwa Rakhine masih terlalu berbahaya untuk repatriasi.
Penduduk Rohingya melarikan diri dari operasi militer pada Agustus yang menurut saksi mata dikarenakan terjadi pemerkosaan oleh pasukan keamanan, eksekusi tanpa melalui proses peradilan dan tindakan kekerasan brutal, yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis.
Baca juga: Laporan terbaru, Myanmar lanjutkan pembersihan etnis Rohingya
Zeid mengatakan ada bukti bahwa kekejaman di Rakhine sedang berlangsung, termasuk pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah Rohingya.
Ia menambahkan, lebih dari 11.000 orang melarikan diri dari Rakhine tahun ini, di mana hal itu sebagai tanda kekejaman masih memaksa orang untuk melarikan diri.
Sementara itu, delegasi Myanmar menyebut laporan Zeid "terdistorsi" dan bersikeras bahwa pihaknya bekerja untuk mempercepat proses repatriasi bagi mereka yang mengungsi dengan hak yang sah untuk kembali. Demikian dilansir Kantor Berita AFP.
Baca juga: UNHCR: Rohingya masih terancam kekerasan dan penganiayaan di Myanmar
Penerjemah: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: