Jakarta (ANTARA News) - Pasal yang mengatur mengenai ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Unndang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kembali didaftarkan untuk gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Direktur Pengabdian Masyarakat Studi Pengembangan Talenta dan Brainware Universitas Indonesia (SPTB UI) Effendi Gazali dan Direktur Peneliti SPTB UI Reza Indragiri Amriel selaku pemohon telah mendaftarkan permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu itu ke Mahkamah konstitusi, Senin.

Pihak pemohon menilai pasal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar negara Pancasila sebagai bagian dari tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945.

Pasal 222 UU Pemilu berbunyi: "Pasangan calon yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

Menurut pemohon, Pasal 222 UU Pemilu ini tidak akan membawa kerugian konstitusional kepada warga negara manapun jika dinyatakan oleh MK mulai berlaku pada Pemilihan serentak Presiden dan DPR pada 2024.

"Atau lima tahun yang akan datang, karena sejak UU Pemilu ini dinyatakan berlaku 16 Agustus 2017, warga negara sudah mengetahui serta dianggap mengetahui bahwa ketika melakukan hak pilihnya untuk Pemilu DPR 2019, hal itu sekaligus akan dihitung sebagai ambang batas untuk pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik pesrta Pemilu 20124," kata pemohon dalam permohonannya.

Jika Pasal ini dinyatakan dapat berlaku langsung pada Pemilu serentak 2019, kata Pemohon, akan membohongi warga negara dan memanipulasi hasil hak pilih warga negara dalam Pemilu DPR 2014.

"karena pada masa sebelum hingga telah telah selesainya seluruh warga negara melakukan hak pilihnya untuk Pemilu 2014 tidak pernah sekalipun diberikan informasi atau hak atau kewajiban oleh UU atau peraturan manapun, terutama UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden atau UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD, bahwa hal tersebut sekaligus akan dihitung sebagai bagian dari persyaratan ambang batas untuk pengusulan calon Presiden dan wakil Presiden oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta Pemilu 2019," katanya.

Dengan logika tersebut, maka pemohon menyatakan Pasal 222 UU Pemilu akan membohongi atau mendustai warga negara dan memanipulasi atau menggelapkan hasil hak pilih warga negara dalam Pemilu DPR 2014, bertentangan dengan nilai-nilai Dasar Pancasila yang sebagai bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945.

Baca juga: Fadli Zon: Putusan MK terkait jabatan Presiden-Wapres tepat

Baca juga: JK tanggapi santai penolakan pengujian aturan masa jabatan wapres

Baca juga: DPR absen lagi dalam sidang uji materi UU Pemilu

Untuk itu, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 222 UU Pemilu beserta Penjelasannya dapat mulai berlaku pada pemilu serentak Presiden dan DPR 2024, karena tidak akan membohongi atau mendustai warga negara dan memanipulasi atau menggelapkan hasil hak pilih warga negara dalam Pemilu DPR 2014.

"Sebab seluruh warga negara sudah mendapatkan semua informasi yang sebenarnya sejak UU Pemilu yang baru ini dinyatakan bahwa hasil hak pilih warga negara pada Pemilu 2019 sekaligus akan sebagai bagian dari persyaratan ambang batas untuk pengusulan calon Presiden dan wakil Presiden oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta Pemilu 2024," katanya.

Dengan demikian Pasal 222 UU Pemilu yang mulai berlaku pada Pemilu serentak 2024 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Dasar Pancasila yang sebagai bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945.

Dalam permohonannya ini, Gazali dan Reza meminta MK memberikan prioritas mengadili perkara ini tidak terlalu lama agar pelaksanaan Pemilu serentak 2019 dapat terlaksana tanpa bertentangan dengan nilai-nilai Dasar Pancasila yang sebagai bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945.

"Pemohon juga memohon agar kiranya MK berkenan tidak menggabungkan pemeriksaan PUU ini dengan PUU lain yang tidak berhubungan atau tidak sama batu ujinya, yakni dengan pelanggaran nilai-nilai Dasar Pancasila yang sebagai bagian tak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945," pinta pemohon.