Strategi menciptakan batik sesuai selera kaum milenial
29 Juni 2018 19:20 WIB
Co-Founder JKT Creative Iwet Ramadhan saat menghadiri peluncuran batik Shopee, di mana ia menjadi salah satu pencipta motifnya. (ANTARA News/ Sella Panduarsa Garera)
Jakarta (ANTARA News) - Co-Founder JKT Creative Wethandrie Ramadhan atau terkenal dengan nama Iwet Ramadhan berbagi pengalaman tentang bagaimana menciptakan pakaian batik yang sesuai dengan keinginan kaum milenal saat ini.
Pemilik usaha butik Tikshirt ini mengaku pernah gagal menyasar kaum milenal untuk pasar batik klasik yang ia ciptakan dengan label Tik Prive.
“Jadi dulu aku bikin Tik Prive aku bikinnya motif klasik. Karena aku dulu berfikir ingin melestarikan motif-motif klasik untuk anak muda. Tapi, ternyata jualannya susah, tidak nyampe ke mereka,” kata pria kelahiran Yogyakarta, 36 tahun lalu ini di Jakarta, Jumat.
Kemudian, Iwet mengevaluasi dan mencari tahu selera batik yang digandrungi anak-anak muda masa kini dengan melhat desain karya desainer lain.
“Terus saya lihat sejauh mata memandang. Lewat karya Chitra Subiyakto itu luar biasa. Dalam artian banyak sekali anak muda yang mau pakai batik setelah itu,” ujarnya.
Belajar dari pencariannya, Iwet kemudian menyimpulkan bahwa generasi muda kerap sulit menerima motif-motif batik klasik secara apa adanya, sehingga perlu sentuhan modern di dalamnya.
Sehingga, Iwet mengombinasikan motif klasik yang diciptakannya dengan motif geometris dan motif modern lainnya. Ia juga membubuhkan warna-warna cerah untuk memunculkan kesan kekinian.
Ternyata, lanjut Iwet, motif-motif tersebut dapat diterima dengan lebih mudah oleh pasar anak muda.
Selain motif, kaum muda juga kerap mempertimbangkan harga dalam membeli pakaian batik, sehingga hal tersebut juga perlu menjadi perhatian.
“Kalau batik klasik itu harganya cenderung lebih mahal. Karena prosesnya berkali-kali dan lama. Nah anak-anak milenial itu mereka sangat concern sama harga. Makanya aku berfikir gimana caranya ini juga bisa mereka beli,” papar Iwet.
Iwet mengubah sedikit sistem pencelupan batik, di mana biasanya pencelupan dilakukan berkali-kali, ia kemudian hanya melakukannya sekali.
Lulusan arsitektur Universitas Parahyangan ini juga menggunakan teknik colet untuk mewarnai aksen-aksen yang dibutuhkan dalam kain batik.
“Sama satu lagi, kita harus tekan profit biar harganya bisa masuk ke kantong anak muda dan pembatiknya juga mendapat bagian yang ideal,” pungkasnya.
Pemilik usaha butik Tikshirt ini mengaku pernah gagal menyasar kaum milenal untuk pasar batik klasik yang ia ciptakan dengan label Tik Prive.
“Jadi dulu aku bikin Tik Prive aku bikinnya motif klasik. Karena aku dulu berfikir ingin melestarikan motif-motif klasik untuk anak muda. Tapi, ternyata jualannya susah, tidak nyampe ke mereka,” kata pria kelahiran Yogyakarta, 36 tahun lalu ini di Jakarta, Jumat.
Kemudian, Iwet mengevaluasi dan mencari tahu selera batik yang digandrungi anak-anak muda masa kini dengan melhat desain karya desainer lain.
“Terus saya lihat sejauh mata memandang. Lewat karya Chitra Subiyakto itu luar biasa. Dalam artian banyak sekali anak muda yang mau pakai batik setelah itu,” ujarnya.
Belajar dari pencariannya, Iwet kemudian menyimpulkan bahwa generasi muda kerap sulit menerima motif-motif batik klasik secara apa adanya, sehingga perlu sentuhan modern di dalamnya.
Sehingga, Iwet mengombinasikan motif klasik yang diciptakannya dengan motif geometris dan motif modern lainnya. Ia juga membubuhkan warna-warna cerah untuk memunculkan kesan kekinian.
Ternyata, lanjut Iwet, motif-motif tersebut dapat diterima dengan lebih mudah oleh pasar anak muda.
Selain motif, kaum muda juga kerap mempertimbangkan harga dalam membeli pakaian batik, sehingga hal tersebut juga perlu menjadi perhatian.
“Kalau batik klasik itu harganya cenderung lebih mahal. Karena prosesnya berkali-kali dan lama. Nah anak-anak milenial itu mereka sangat concern sama harga. Makanya aku berfikir gimana caranya ini juga bisa mereka beli,” papar Iwet.
Iwet mengubah sedikit sistem pencelupan batik, di mana biasanya pencelupan dilakukan berkali-kali, ia kemudian hanya melakukannya sekali.
Lulusan arsitektur Universitas Parahyangan ini juga menggunakan teknik colet untuk mewarnai aksen-aksen yang dibutuhkan dalam kain batik.
“Sama satu lagi, kita harus tekan profit biar harganya bisa masuk ke kantong anak muda dan pembatiknya juga mendapat bagian yang ideal,” pungkasnya.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018
Tags: