Piala Dunia 2018
Kita Piala Dunia 2018: Putus asa itu Absurd
29 Juni 2018 18:04 WIB
Pelatih tim nasional Nigeria asal Jerman, Gernot Rohr (tengah), menghibur bek Nigeria William Troost-Ekong selepas kekalahan 1-2 dari Argentina di laga pamungkas penyisihan Grup D Piala Dunia 2018 di Stadion Saint Petersburg, Sankt Petersburg, Rusia, Selasa (26/6/2018) malam setempat. (AFP/Christophe SIMON)
Jakarta (ANTARA News) - Kapan manusia itu disebut sosok yang absurd? Saat dia atau saat mereka menilai dan menginginkan segala hal, serentak tidak menilai dan tidak menginginkan segala hal dalam balutan fakta dan peristiwa.
Ulah manusia-manusia dalam gelegak pesta Piala Dunia 2018 di Moskow mencetuskan pakem bahwa putus asa itu sejatinya absurd belaka.
Bagaimana agar kita terbebas dari virus putus asa? Beranilah bersikap dan berpanduan kepada nilai, bukan justru menyoal apa itu nilai. Jangan cepat-cepat beranggapan bahwa putus asa itu berseberangan dengan optimisme.
Baik absurd maupun optimistis mencerminkan manusia yang memberontak terhadap segala hal yang memuakkan. Luapkan dengan keleluasaan karena sepak bola memerdekakan dan memberi suara kepada mereka yang tertindas, bukan mereka yang berputus asa.
Putus asa sejatinya keinginan untuk mengakhiri hidup tanpa memberontak terhadap hidup sarat sukacita. Sukacita dan dukacita merupakan dua keping dari hidup yang bergelora layaknya decak kagum dalam Piala Dunia 2018 di Moskow.
Memegang kepala merupakan salah satu ekspresi dari situasi yang mencekam, situasi yang mengecewakan, dan menggembirakan hati. Mereka yang berekspresi adalah mereka yang tidak bungkam. Mereka yang berani bersuara untuk meneguhkan kepada penolakan akan hidup yang absurd.
Baik Mario Gomez maupun Mats Hummels tidak menolak ketika pelatih Timna Jerman, Joachim Loew menegaskan berulangkali bahwa bertandinglah dengan keberanian menerobos segala hal yang serba beku dan serba baku. Di mata arsitek sepak bola Der Panzer itu, sepak bola sejatinya keberanian menantang takdir surgawi bahwa hidup itu absurd.
Apakah kekalahan itu absurd? Tidak. Siapa yang mengira bahwa Jerman harus beres-beres koper untuk pulang kampung lantaran gagal tampil di babak 16 besar, setelah dikalahkan 0-2 oleh Korea Selatan? Bisa saja, atau mudah saja menyebut bahwa kekalahan itu sejatinya perbendaharaan dalam laga sepak bola.
Kekalahan itu sama artinya dengan semua atau tidak sama sekali. Tidak sama sekali mencerminkan mereka yang mendambakan hidup yang sarat dengan penerimaan. Kami menerima karena itu kami menegaskan "tidak sama sekali" kepada apa yang disebut sebagai kekalahan.
Sebagai juara dunia, Jerman memegang erat-erat harapan dari para pendukung sedunia. Kredo dari fans Jerman satu saja: kami mau timnas Jerman juara Piala Dunia 2018. Kenyataannya, Manuel Neuer dan Thomas Mueller dan kawan-kawan menelan pili pahit. Terus mendukung tim yang kalah terkadang sama artinya memberi garam di atas luka dari mereka yang berlaga.
Kalau memang Die Mannscahft, julukan bagi Timnas Jerman, ingin melampaui takdir kehidupan, maka janganlah mengajari mereka dengan nilai yang justru mengasingkan dari kenyataan hidup bernama Piala Dunia 2018. Keterasingan kerapkali ditunjukkan oleh mereka yang bertelanjang di hadapan cermin hidup bahwa di penghujung sana ada masih terbentang harapan.
Wahai pasukan Jerman di Piala Dunia 2018, mengapa menundukkan kepala setelah menerima kekalahan? Amati dan tirulah mereka yang berani melawan absurditas. Kenapa menyerah, sementara tidak ada hal apapun yang perlu digenggam dan diperjuangkan secara permanen? Menutup mulut dengan dihiasi bunga warna bendera Jerman diperankan oleh seorang perempuan yang meluapkan kekecewaan setelah negaranya kalah. Menoleh dan melihat fakta dan peristiwa dalam perangkat telpon genggam dengan dihiasi dahi mengernyit mencerminkan kekecewaan.
Dua perempuan dari pendukung Jerman diterpa kecewa. Mereka menghormati apa yang ada di dalam lubuk hati, karena mereka melihat dan menyaksikan dengan mata hati dan kepala nurani bahwa kekalahan sesungguhnya drama absurditas dari setiap kita manusia.
Lawanlah kepalsuan, singkirkanlah ketakutan akan hidup yang memuat drama absurditas bernama kekalahan. Menghormati diri sendiri (adalah) melontarkan apa yang ada di lubuk hati terdalam. Penghinaan atas mereka yang menantang absurditas hanyalah cermin dari ketidaktahuan bahwa sepak bola itu "bersedia dihina, bersedia dipuji".
Yang absurd itu, mereka yang tidak mampu dan tidak mau mengindentifikasi siapa dirinya. Hiduplah, dan hiduplah dengan tidak mengekor kepada apapun dan kepada siapapun.
Ulah manusia-manusia dalam gelegak pesta Piala Dunia 2018 di Moskow mencetuskan pakem bahwa putus asa itu sejatinya absurd belaka.
Bagaimana agar kita terbebas dari virus putus asa? Beranilah bersikap dan berpanduan kepada nilai, bukan justru menyoal apa itu nilai. Jangan cepat-cepat beranggapan bahwa putus asa itu berseberangan dengan optimisme.
Baik absurd maupun optimistis mencerminkan manusia yang memberontak terhadap segala hal yang memuakkan. Luapkan dengan keleluasaan karena sepak bola memerdekakan dan memberi suara kepada mereka yang tertindas, bukan mereka yang berputus asa.
Putus asa sejatinya keinginan untuk mengakhiri hidup tanpa memberontak terhadap hidup sarat sukacita. Sukacita dan dukacita merupakan dua keping dari hidup yang bergelora layaknya decak kagum dalam Piala Dunia 2018 di Moskow.
Memegang kepala merupakan salah satu ekspresi dari situasi yang mencekam, situasi yang mengecewakan, dan menggembirakan hati. Mereka yang berekspresi adalah mereka yang tidak bungkam. Mereka yang berani bersuara untuk meneguhkan kepada penolakan akan hidup yang absurd.
Baik Mario Gomez maupun Mats Hummels tidak menolak ketika pelatih Timna Jerman, Joachim Loew menegaskan berulangkali bahwa bertandinglah dengan keberanian menerobos segala hal yang serba beku dan serba baku. Di mata arsitek sepak bola Der Panzer itu, sepak bola sejatinya keberanian menantang takdir surgawi bahwa hidup itu absurd.
Apakah kekalahan itu absurd? Tidak. Siapa yang mengira bahwa Jerman harus beres-beres koper untuk pulang kampung lantaran gagal tampil di babak 16 besar, setelah dikalahkan 0-2 oleh Korea Selatan? Bisa saja, atau mudah saja menyebut bahwa kekalahan itu sejatinya perbendaharaan dalam laga sepak bola.
Kekalahan itu sama artinya dengan semua atau tidak sama sekali. Tidak sama sekali mencerminkan mereka yang mendambakan hidup yang sarat dengan penerimaan. Kami menerima karena itu kami menegaskan "tidak sama sekali" kepada apa yang disebut sebagai kekalahan.
Sebagai juara dunia, Jerman memegang erat-erat harapan dari para pendukung sedunia. Kredo dari fans Jerman satu saja: kami mau timnas Jerman juara Piala Dunia 2018. Kenyataannya, Manuel Neuer dan Thomas Mueller dan kawan-kawan menelan pili pahit. Terus mendukung tim yang kalah terkadang sama artinya memberi garam di atas luka dari mereka yang berlaga.
Kalau memang Die Mannscahft, julukan bagi Timnas Jerman, ingin melampaui takdir kehidupan, maka janganlah mengajari mereka dengan nilai yang justru mengasingkan dari kenyataan hidup bernama Piala Dunia 2018. Keterasingan kerapkali ditunjukkan oleh mereka yang bertelanjang di hadapan cermin hidup bahwa di penghujung sana ada masih terbentang harapan.
Wahai pasukan Jerman di Piala Dunia 2018, mengapa menundukkan kepala setelah menerima kekalahan? Amati dan tirulah mereka yang berani melawan absurditas. Kenapa menyerah, sementara tidak ada hal apapun yang perlu digenggam dan diperjuangkan secara permanen? Menutup mulut dengan dihiasi bunga warna bendera Jerman diperankan oleh seorang perempuan yang meluapkan kekecewaan setelah negaranya kalah. Menoleh dan melihat fakta dan peristiwa dalam perangkat telpon genggam dengan dihiasi dahi mengernyit mencerminkan kekecewaan.
Dua perempuan dari pendukung Jerman diterpa kecewa. Mereka menghormati apa yang ada di dalam lubuk hati, karena mereka melihat dan menyaksikan dengan mata hati dan kepala nurani bahwa kekalahan sesungguhnya drama absurditas dari setiap kita manusia.
Lawanlah kepalsuan, singkirkanlah ketakutan akan hidup yang memuat drama absurditas bernama kekalahan. Menghormati diri sendiri (adalah) melontarkan apa yang ada di lubuk hati terdalam. Penghinaan atas mereka yang menantang absurditas hanyalah cermin dari ketidaktahuan bahwa sepak bola itu "bersedia dihina, bersedia dipuji".
Yang absurd itu, mereka yang tidak mampu dan tidak mau mengindentifikasi siapa dirinya. Hiduplah, dan hiduplah dengan tidak mengekor kepada apapun dan kepada siapapun.
Pewarta: AA Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018
Tags: