Menengok kawasan Saribu Rumah Gadang
29 Juni 2018 17:08 WIB
Seorang anak melintas di depan rumah adat, kawasan Seribu Rumah Gadang, di Nagari Koto Baru, Kab. Solok Selatan, Sumatera Barat, Rabu (3/8/2016). (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
Kawasan Saribu Rumah Gadang salah satu kawasan unik di Sumatera Barat. Bayangkan, 175 rumah gadang dari 11 suku ada dalam satu wilayah dan aktivitas kehidupan masih berjalan di sana.
Artinya, kawasan ini bukan sekadar bangunan tetapi masyarakat setempat masih menjalankan kesehariannya. Rumah gadang di sini masih berfungsi sebagai rumah kaum dan rumah adat, tempat dimana upacara adat diselenggarakan.
Dari 175 rumah gadang, 135 masih berfungsi berpenghuni. Mereka berhimpitan dengan rumah penduduk biasa yang dibangun bersebelahan.
Di antara rumah biasa, rumah tradisional dengan atap yang bergonjong, berlekuk dengan tiga pasang ujung yang lancip menjulang ke langit, kontras dengan atap rumah biasa.
Indahnya, jika dalam kawasan itu hanya terdapat rumah gadang saja. Langit kawasan itu dipenuhi dengan atap lancip menusuk langit khas rumah tradisional Minang. Namun, kebutuhan untuk bernaung dan berkembang biaknya anak dan keponakan menjadikan rumah gadang tak cukup menampung anggota kaum.
Kondisinya seperti saat ini, di sela 175 rumah gadang dibangun rumah biasa untuk tempat bernaung anak keponakan, sanak famili.
Kondisi itu tidak mengurangi kekhasan Kawasan Saribu Rumah Gadang di Jorong Koto Baru, Nagari Muaralabuh, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan, 30 kilometer dari Padang Aro, ibu kota kabupaten atau 161 kilometer, 3,5 jam dari Padang, Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat.
Puteri Proklamator
Saribu Rumah Gadang, semula nama itu dicetuskan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta ketika berkunjung ke kawasan itu pada 2008. Puteri proklamator Indonesia, Mohammad Athar (Bung Hatta), itu terkesan dengan banyaknya rumah tradisional Minang di Kabupaten Solok, khususnya di kawasan itu, lalu menyebutnya sebagai Nagari Saribu Rumah Gadang.
Kala itu, Solok Selatan baru empat tahun eksis sebagai kabupaten. Terkait langsung atau tidak, penamaan Nagari Saribu Rumah Gadang menjadikan kawasan itu terus menanjak populer.
Banyak pihak yang datang untuk melihat Kawasan Saribu Rumah Gadang. Sesungguhnya, rumah gadang tersebar merata di kawasan Sumatera Barat, bahkan, terdapat rumah gadang di Negeri Sembilan, Malaysia.
Sesungguhnya diperlukan sejumlah persyaratan sebelum diijinkan mendirikan rumah gadang, diantaranya jika suatu kawasan sudah memiliki status sebagai nagari.
Atap rumah gadang, sangat khas, yakni melengkung ke langit menyerupai tanduk kerbau dan dahulu jurai atap terbuat dari ijuk. Semua bahan utama bangunan dari kayu dengan pasak-pasak pengikat juga dari kayu, tanpa paku.
Tiang utama dari pilar kayu besar yang didirikan di atas batu lebar, tidak ditanamkan ke dalam tanah. Fungsinya, jika terjadi gempa maka sosok bangunan hanya bergoyang dan tidak rubuh.
Pada bagian dinding terdapat ukiran khas dengan motif bunga, akar, binatang atau aktivitas manusia. Di depan rumah gadang biasanya terdapat satu atau dua rangkiang, yakni pondok kecil untuk menyimpan padi dengan atap yang juga khas, yakni melengkung.
Jumlah kamar dalam rumah gadang disesuaikan dengan jumlah keluarga di dalamnnya, biasanya mengacu pada jumlah anak perempuan sebagaimana sistem keluarga di Minang yang mengacu pada ibu (matrilineal), sementara anak laki yang baligh dan belum menikah tidur di surau.
Rumah Kuno
Rumah gadang di Kawasan Saribu Rumah Gadang relatif tua, sebut saja Rumah Gadang Gajah Maram yang dibangun tahun 1794 dengan warna kayu yang sudah memudar.
Rumah ini milik suku Melayu Buah Anau yang didirikan oleh Rapun Datuak Lelo Panjang dengan dua pintu masuk, sembilan ruang dan dua anjuang. Kini, rumah ditempati oleh generasi kelima pimpinan Datuak Azhar Datuak Lelo Panjang.
Rumah gadang Rajo Mulie didirikan pada 1836 oleh Datuak Rajo Mulie juga dari suku Melayu. Direnovasi pada 1937 dan selesai pada 1939. Di rumah ini terdapat tongkat (tungkek) pengangkatan Rajo Bagindo Sutan Besar yang kerajaannya berada di Batang Labuah.
Rumah Gadang bentuk Serambi Aceh ini memiliki beragam ukiran, diantaranya itiak pulang patang (itik pulang sore), kucing tidua (kucing tidur) dan taluak paku (teluk paku, sejenis tanaman pakis), dan dihuni oleh generasi keempat yang sekaligus menjadikannya sebagai penginapan (home stay).
Terdapat 11 suku yang mendiami kawasan tersebut, yakni Sikumbang, Melayu, Bariang, Durian, Kampai, Panai, Tigo Lareh, Koto Kaciak, Panai, Chaniago dan Koto Anyir. Setiap suku tersebut memiliki rumah gadang kaumnya.
Kini terdapat 10 penginapan di Kawasan Saribu Rumah Gadang dengan tarif beragam mulai dari Rp250.000 permalam, wisatawan bisa merasakan sensasi tidur di rumah gadang yang berbentuk panggung dan menikmati makanan tradisional.
Bantuan Pemerintah
Memelihara rumah gadang tidak murah dan mudah. Karena, sebagian besar berbahan kayu maka dibutuhkan biaya besar untuk menjaganya agar tetap menarik dan bersinar.
Mungkin karena itu pula terdapat 40 rumah gadang yang sudah tidak berpenghuni dan tak berfungsi.
Pemerintah mengulurkan tangan untuk merevitalisasi Kawasan Saribu Rumah Gadang pada 9 Februari 2018. Prasasti pencanangan revitalisasi itu terdapat di samping Rumah Gadang Gajah Maram yang ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Permasalahan muncul ketika anggaran negara digunakan untuk memperbaiki fasilitas milik pribadi atau kaum seperti rumah gadang.
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Koto Baru, Jalaluddin Datuak Lelo Dirajo mengatakan mendukung Kawasan Saribu Rumah Gadang menjadi cagar budaya. Datuak dari Suku Sikumbang itu juga menghargai bantuan pemerintah untuk merevitalisasi kawasan tersebut karena untuk memelihara rumah gadang tidak mudah dan tidak murah.
Permasalahan muncul ketika pemerintah pusat mensyaratkan penyerahan sertifikat sebagai pemenuhan administrasi revitalisasi rumah gadang sebagai cagar budaya. Pertanyaan muncul, apakah rumah itu masih akan jadi milik kaum dan kerapatan adat jika hak kepemilikan berpindah?
KAN Koto Baru menginginkan tidak ada perpindahan kepemilikan dan ketentuan itu diperkuat oleh peraturan daerah, tak cukup hanya peraturan gubernur (pergub).
Lokasi Film
Siang itu, langit cerah, satu dua tumpuk awan tampak mewarnai langit nan biru. Surau Menara (abad 20) tampak menonjol diantara bangunan lainnya.
Tingginya sekitar 13 meter dengan dua jenjang menara teratas yang masih asli dan satu pengunjung bisa naik ke atas untuk melihat penuh Kawasan Saribu Rumah Gadang.
Kawasan ini, dengan segala keasliannya sudah mengundang para kreator untuk membuat film di sini, satu diantaranya Di Bawah Lindungan Ka'bah yang diangkat dari novel karya Buya Hamka.
Kawasan ini butuh uluran tangan semua pihak untuk menjaga keasliannya, keunikan budaya, adat istiadat dan bangunan di dalamnya. Uluran tangan itu hendaknya tanpa syarat yang memberatkan agar budaya terjaga, kelestarian jadi milik bersama dan ninik mamak tak gamang karenanya.
Baca juga: 270 siswa SMA Don Bosco Padang belajar budaya saribu rumah gadang
Baca juga: Masyarakat hibahkan 51 rumah gadang untuk direvitalisasi
Artinya, kawasan ini bukan sekadar bangunan tetapi masyarakat setempat masih menjalankan kesehariannya. Rumah gadang di sini masih berfungsi sebagai rumah kaum dan rumah adat, tempat dimana upacara adat diselenggarakan.
Dari 175 rumah gadang, 135 masih berfungsi berpenghuni. Mereka berhimpitan dengan rumah penduduk biasa yang dibangun bersebelahan.
Di antara rumah biasa, rumah tradisional dengan atap yang bergonjong, berlekuk dengan tiga pasang ujung yang lancip menjulang ke langit, kontras dengan atap rumah biasa.
Indahnya, jika dalam kawasan itu hanya terdapat rumah gadang saja. Langit kawasan itu dipenuhi dengan atap lancip menusuk langit khas rumah tradisional Minang. Namun, kebutuhan untuk bernaung dan berkembang biaknya anak dan keponakan menjadikan rumah gadang tak cukup menampung anggota kaum.
Kondisinya seperti saat ini, di sela 175 rumah gadang dibangun rumah biasa untuk tempat bernaung anak keponakan, sanak famili.
Kondisi itu tidak mengurangi kekhasan Kawasan Saribu Rumah Gadang di Jorong Koto Baru, Nagari Muaralabuh, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan, 30 kilometer dari Padang Aro, ibu kota kabupaten atau 161 kilometer, 3,5 jam dari Padang, Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat.
Puteri Proklamator
Saribu Rumah Gadang, semula nama itu dicetuskan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta ketika berkunjung ke kawasan itu pada 2008. Puteri proklamator Indonesia, Mohammad Athar (Bung Hatta), itu terkesan dengan banyaknya rumah tradisional Minang di Kabupaten Solok, khususnya di kawasan itu, lalu menyebutnya sebagai Nagari Saribu Rumah Gadang.
Kala itu, Solok Selatan baru empat tahun eksis sebagai kabupaten. Terkait langsung atau tidak, penamaan Nagari Saribu Rumah Gadang menjadikan kawasan itu terus menanjak populer.
Banyak pihak yang datang untuk melihat Kawasan Saribu Rumah Gadang. Sesungguhnya, rumah gadang tersebar merata di kawasan Sumatera Barat, bahkan, terdapat rumah gadang di Negeri Sembilan, Malaysia.
Sesungguhnya diperlukan sejumlah persyaratan sebelum diijinkan mendirikan rumah gadang, diantaranya jika suatu kawasan sudah memiliki status sebagai nagari.
Atap rumah gadang, sangat khas, yakni melengkung ke langit menyerupai tanduk kerbau dan dahulu jurai atap terbuat dari ijuk. Semua bahan utama bangunan dari kayu dengan pasak-pasak pengikat juga dari kayu, tanpa paku.
Tiang utama dari pilar kayu besar yang didirikan di atas batu lebar, tidak ditanamkan ke dalam tanah. Fungsinya, jika terjadi gempa maka sosok bangunan hanya bergoyang dan tidak rubuh.
Pada bagian dinding terdapat ukiran khas dengan motif bunga, akar, binatang atau aktivitas manusia. Di depan rumah gadang biasanya terdapat satu atau dua rangkiang, yakni pondok kecil untuk menyimpan padi dengan atap yang juga khas, yakni melengkung.
Jumlah kamar dalam rumah gadang disesuaikan dengan jumlah keluarga di dalamnnya, biasanya mengacu pada jumlah anak perempuan sebagaimana sistem keluarga di Minang yang mengacu pada ibu (matrilineal), sementara anak laki yang baligh dan belum menikah tidur di surau.
Rumah Kuno
Rumah gadang di Kawasan Saribu Rumah Gadang relatif tua, sebut saja Rumah Gadang Gajah Maram yang dibangun tahun 1794 dengan warna kayu yang sudah memudar.
Rumah ini milik suku Melayu Buah Anau yang didirikan oleh Rapun Datuak Lelo Panjang dengan dua pintu masuk, sembilan ruang dan dua anjuang. Kini, rumah ditempati oleh generasi kelima pimpinan Datuak Azhar Datuak Lelo Panjang.
Rumah gadang Rajo Mulie didirikan pada 1836 oleh Datuak Rajo Mulie juga dari suku Melayu. Direnovasi pada 1937 dan selesai pada 1939. Di rumah ini terdapat tongkat (tungkek) pengangkatan Rajo Bagindo Sutan Besar yang kerajaannya berada di Batang Labuah.
Rumah Gadang bentuk Serambi Aceh ini memiliki beragam ukiran, diantaranya itiak pulang patang (itik pulang sore), kucing tidua (kucing tidur) dan taluak paku (teluk paku, sejenis tanaman pakis), dan dihuni oleh generasi keempat yang sekaligus menjadikannya sebagai penginapan (home stay).
Terdapat 11 suku yang mendiami kawasan tersebut, yakni Sikumbang, Melayu, Bariang, Durian, Kampai, Panai, Tigo Lareh, Koto Kaciak, Panai, Chaniago dan Koto Anyir. Setiap suku tersebut memiliki rumah gadang kaumnya.
Kini terdapat 10 penginapan di Kawasan Saribu Rumah Gadang dengan tarif beragam mulai dari Rp250.000 permalam, wisatawan bisa merasakan sensasi tidur di rumah gadang yang berbentuk panggung dan menikmati makanan tradisional.
Bantuan Pemerintah
Memelihara rumah gadang tidak murah dan mudah. Karena, sebagian besar berbahan kayu maka dibutuhkan biaya besar untuk menjaganya agar tetap menarik dan bersinar.
Mungkin karena itu pula terdapat 40 rumah gadang yang sudah tidak berpenghuni dan tak berfungsi.
Pemerintah mengulurkan tangan untuk merevitalisasi Kawasan Saribu Rumah Gadang pada 9 Februari 2018. Prasasti pencanangan revitalisasi itu terdapat di samping Rumah Gadang Gajah Maram yang ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Permasalahan muncul ketika anggaran negara digunakan untuk memperbaiki fasilitas milik pribadi atau kaum seperti rumah gadang.
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Koto Baru, Jalaluddin Datuak Lelo Dirajo mengatakan mendukung Kawasan Saribu Rumah Gadang menjadi cagar budaya. Datuak dari Suku Sikumbang itu juga menghargai bantuan pemerintah untuk merevitalisasi kawasan tersebut karena untuk memelihara rumah gadang tidak mudah dan tidak murah.
Permasalahan muncul ketika pemerintah pusat mensyaratkan penyerahan sertifikat sebagai pemenuhan administrasi revitalisasi rumah gadang sebagai cagar budaya. Pertanyaan muncul, apakah rumah itu masih akan jadi milik kaum dan kerapatan adat jika hak kepemilikan berpindah?
KAN Koto Baru menginginkan tidak ada perpindahan kepemilikan dan ketentuan itu diperkuat oleh peraturan daerah, tak cukup hanya peraturan gubernur (pergub).
Lokasi Film
Siang itu, langit cerah, satu dua tumpuk awan tampak mewarnai langit nan biru. Surau Menara (abad 20) tampak menonjol diantara bangunan lainnya.
Tingginya sekitar 13 meter dengan dua jenjang menara teratas yang masih asli dan satu pengunjung bisa naik ke atas untuk melihat penuh Kawasan Saribu Rumah Gadang.
Kawasan ini, dengan segala keasliannya sudah mengundang para kreator untuk membuat film di sini, satu diantaranya Di Bawah Lindungan Ka'bah yang diangkat dari novel karya Buya Hamka.
Kawasan ini butuh uluran tangan semua pihak untuk menjaga keasliannya, keunikan budaya, adat istiadat dan bangunan di dalamnya. Uluran tangan itu hendaknya tanpa syarat yang memberatkan agar budaya terjaga, kelestarian jadi milik bersama dan ninik mamak tak gamang karenanya.
Baca juga: 270 siswa SMA Don Bosco Padang belajar budaya saribu rumah gadang
Baca juga: Masyarakat hibahkan 51 rumah gadang untuk direvitalisasi
Pewarta: Erafzon Saptiyulda
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018
Tags: