Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan institusinya akan menyelaraskan aturan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU MD3 terkait dengan pemanggilan paksa dan penyanderaan oleh DPR melalui Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Karena MK memiliki kedudukan yang penting terkait masalah konstitusi dan aturan yang ada di bawahnya, kami harus menyesuaikannya," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan institusinya akan mempelajari Putusan MK tersebut terlebih dahulu dan akan menyelaraskan pada aturan standar dan baku di DPR.
Fadli mengatakan Pimpinan DPR dan MKD akan membahas Putusan MK tersebut terkait aturan baku DPR apabila kalau ada anggota DPR terkena masalah.
"DPR akan pelajari terlebih dahulu, kami belum terima putusan aslinya seperti apa. Saya kira tentu MK mempunyai pertimbangan yang mempunyai dasar," ujarnya.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait dengan pemanggilan paksa dan penyanderaan oleh DPR melalui MKD, dan menyatakan sebagian ketentuan tersebut adalah inkonstitusional.
"Amar putusan menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis.
Pasal-pasal yang diuji adalah Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Dalam pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menyatakan bahwa pemanggilan paksa hanya dapat digunakan untuk penyidikan dalam ranah penegakan hukum dan bukannya dalam rapat anggota dewan.
Selain itu, Mahkamah menegaskan bahwa MKD bukan alat yang digunakan sebagai tameng DPR untuk melindungi anggota DPR dari dugaan pencemaran nama baik yang kemudian merendahkan martabat para anggota DPR.
"Pada hakekatnya fungsi MKD adalah alat penegak etik bagi anggota DPR, dan jelas bukan alat penegak hukum," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Mahkamah berpendapat bahwa dalam ketentuan a quo posisi MKD telah mengambil ranah penegakan hukum. Selain itu, ketentuan a quo dinilai Mahkamah tidak menempatkan DPR sebagai subjek, namun norma itu justru menempatkan orang perorangan khususnya yang dinilai telah merendahkan martabat DPR, sebagai subjek hukum.
"Padahal orang perorangan yang dimaksud dalam pasal a quo adalah pihak yang sejatinya membantu MKD menjaga para anggota dewan supaya tidak melanggar kode etik," kata Saldi.
Baca juga: MK: sebagian UU MD3 inkonstitusional
DPR selaraskan aturan terkait putusan MK
28 Juni 2018 17:23 WIB
Wakil Ketua DPR Fadli Zon (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018
Tags: