Kolaborasi suka-suka Hanafi dan Goenawan Mohamad
21 Juni 2018 20:43 WIB
Pengunjung melihat karya Hanafi dan Goenawan Mohamad dalam pameran “57 x 76” di Galeri Nasional Indonesia, Kamis (21/6/18) (ANTARA News/ Nanien Yuniar)
Jakarta (ANTARA News) - Seniman Hanafi dan Goenawan Mohamad menggelar pameran kolaborasi bertajuk “57 x 76”, sebuah kolaborasi suka-suka yang cair dan tidak mengekang. Mereka menyebutnya sebagai kolaborasi hangat, terbuka, tidak tergesa, penuh canda sekaligus sulit diakhiri.
"57 dan 76 ini diambil dari usia Hanafi dan Goenawan," kata kurator Agung Hujatnikajennong saat tur media di Galeri Nasional, Kamis petang.
Nama mereka disambungkan dengan simbol "X", bukan "+", karena kolaborasi ini memiliki makna yang lebih dalam ketimbang pameran yang isinya karya kerja sama dari dua seniman.
"Intensinya tidak cuma kerjasama, tapi meleburkan diri menjadi proyek kolaborasi," sambung dia.
Hanafi yang pertama kali punya ide mengajak Goenawan berkolaborasi setelah melikhat karya pameran tunggal "Kata, Gambar" Goenawan tahun lalu di DiaLoGue, Jakarta. Keduanya sudah saling mengenal sebelumnya.
"Pameran ini tidak akan terjadi tanpa ada rasa percaya satu sama lain, faktor kedekatan keduanya sangat berpengaruh," tutur Agung.
Goenawan Mohamad pernah diminta untuk menulis pengantar dan membuka pameran tunggal "Of Spaces and Shadows" Hanafi pada 2009 silam.
Selama enam bulan, Hanafi dan Goenawan membuat lebih dari 200 karya, meski tidak semuanya dipajang karena keterbatasan tempat. Pameran ini juga memajang tiga instalasi yang akan memperlihatkan bagaimana daya karsa keduanya saling “merusak”.
“Kata “dirusak” bagi saya adalah isyarat untuk membuat metamorfosis pada garis, bidang dan warna yang ia tawarkan. Pada umumnya Hanafi membuat karya-karya monokromatik, dan kalau tidak, deretan karyanya mengisyaratkan tema: kenangan kepada Picasso, Max Ernst, sugesti erotik, dan bentuk-bentuk surealistis. Saya menyambut “corak” ini, mengikutinya justru dengan membuat beda tiap kali,” tutur Goenawan Mohamad.
Hanafi sebelumnya telah banyak berkolaborasi sebelumnya, baik dengan sesama perupa maupun seniman lintas disiplin seperti sastrawan, musisi, dan seniman pertunjukan.
Sementara itu, Goenawan Mohamad yang telah lama berkiprah di dunia sastra, kebudayaan dan jurnalistik mulai mengembangkan minat di dunia seni rupa selama beberapa tahun belakangan.
Seni rupa adalah dunia yang selalu dicintainya sejak lama, Goenawan pernah berkreativitas bersama Sanggar Bambu, sanggar seni tempat sekumpulan anak muda dari Yogyakarta yang dekat dengan seni lukis, patung, dan kriya.
“Dalam kolaborasi ini, kami tak banyak bicara satu sama lain. Hanafi – tanpa pesan, tanpa kata-kata akan mengirimkan karya-karyanya kepada saya, saya kira dengan keyakinan hasil kreasi itu tak akan jadi buruk jika saya menambahkan garis, warna dan bentuk yang saya buat," kata Goenawan Mohamad.
"Tak ada diskusi tentang konsep. Kami masing-masing terjun langsung ke dalam karya yang dihadapi, memberi respons. Sebuah dialog intuitif berlangsung."
Agung mengatakan keduanya berkarya dengan metode unik.
"Yang dilakukan adalah memulai menggambar di kertas atau kanvas, tapi tidak diselesaikan, mereka meminta yang lain menyelesaikannya," ujar Agung. Ada kalanya lukisan harus bolak-balik dari Goenawan ke Hanafi, dan sebaliknya.
Sebagian dikerjakan sendiri-sendiri di studio masing-masing tanpa banyak berdiskusi sehingga hasilnya penuh kejutan.
"Ada aspek-aspek tidak terduga, harus merespons sesuatu yang tidak diketahui," katanya.
"Dengan membuka diri terhadap respons dan 'intervensi' pihak lain, baik Hanafi maupun GM sebetulnya tengah membongkar batas-batas wilayah gagasan personal yang soliter, subjektif dan partikular," katanya.
"Pola penciptaaan menjadi tidak linear dan pada akhirnya aleatorik karena masing-masing harus mulai bekerja dari suatu acuan awal yang tak terduga, tak sepenuhnya mereka pahami atau kuasai."
"Ada kalanya mereka juga kebingungan menentukan respons apa lagi yang harus diberikan karena gambar justru sudah nampak 'selesai'."
Hanafi menganalogikan kolaborasi mereka seperti novel yang dibaca dari halaman tengah.
“Karya kami mendorong pemirsa untuk terus menduga akhir dan awal penyebab halaman depan yang tak sempat terbaca. Tetapi sebuah kanvas memiliki banyak pintu, lebih banyak dari yang dimiliki sebuah novel,” ujar Hanafi.
Hanafi mempersilakan pengunjung untuk menentukan seperti apa tolok ukur kesuksesan kolaborasi ini, apakah sukses bila ciri khas mereka melebur, atau sebaliknya sukses bila terlihat jelas mana bagian yang dibuat oleh masing-masing seniman.
Di dalam pameran, pengunjung juga ditawari cara baru dalam menikmati karya seni. Alih-alih dipajang di dinding, dua ruangan di pameran ini menata bingkai-bingkai lukisan di dalam sebuah "bak".
Hanafi mengatakan, biasanya pundak-pundak akan bertubrukan ketika orang sibuk mengamati lukisan yang dipajang di dinding. Kali ini ia mengatur agar pengunjung bisa saling bertatap muka sembari menikmati karya seni.
"57 x 76" juga akan menghadirkan sebuah Lokakarya "Kolaborasi Sebagai Metode” bersama Goenawan Mohamad, Hanafi, dan Agung Hujatnikajennong pada 24 Juni pukul 14.00 WIB di Galeri Nasional Indonesia.
Pameran "57 x 76" bisa dinikmati di Gedung A Galeri Nasional Indonesia pada hingga 2 Juli 2018.
"57 dan 76 ini diambil dari usia Hanafi dan Goenawan," kata kurator Agung Hujatnikajennong saat tur media di Galeri Nasional, Kamis petang.
Nama mereka disambungkan dengan simbol "X", bukan "+", karena kolaborasi ini memiliki makna yang lebih dalam ketimbang pameran yang isinya karya kerja sama dari dua seniman.
"Intensinya tidak cuma kerjasama, tapi meleburkan diri menjadi proyek kolaborasi," sambung dia.
Hanafi yang pertama kali punya ide mengajak Goenawan berkolaborasi setelah melikhat karya pameran tunggal "Kata, Gambar" Goenawan tahun lalu di DiaLoGue, Jakarta. Keduanya sudah saling mengenal sebelumnya.
"Pameran ini tidak akan terjadi tanpa ada rasa percaya satu sama lain, faktor kedekatan keduanya sangat berpengaruh," tutur Agung.
Goenawan Mohamad pernah diminta untuk menulis pengantar dan membuka pameran tunggal "Of Spaces and Shadows" Hanafi pada 2009 silam.
Selama enam bulan, Hanafi dan Goenawan membuat lebih dari 200 karya, meski tidak semuanya dipajang karena keterbatasan tempat. Pameran ini juga memajang tiga instalasi yang akan memperlihatkan bagaimana daya karsa keduanya saling “merusak”.
“Kata “dirusak” bagi saya adalah isyarat untuk membuat metamorfosis pada garis, bidang dan warna yang ia tawarkan. Pada umumnya Hanafi membuat karya-karya monokromatik, dan kalau tidak, deretan karyanya mengisyaratkan tema: kenangan kepada Picasso, Max Ernst, sugesti erotik, dan bentuk-bentuk surealistis. Saya menyambut “corak” ini, mengikutinya justru dengan membuat beda tiap kali,” tutur Goenawan Mohamad.
Hanafi sebelumnya telah banyak berkolaborasi sebelumnya, baik dengan sesama perupa maupun seniman lintas disiplin seperti sastrawan, musisi, dan seniman pertunjukan.
Sementara itu, Goenawan Mohamad yang telah lama berkiprah di dunia sastra, kebudayaan dan jurnalistik mulai mengembangkan minat di dunia seni rupa selama beberapa tahun belakangan.
Seni rupa adalah dunia yang selalu dicintainya sejak lama, Goenawan pernah berkreativitas bersama Sanggar Bambu, sanggar seni tempat sekumpulan anak muda dari Yogyakarta yang dekat dengan seni lukis, patung, dan kriya.
“Dalam kolaborasi ini, kami tak banyak bicara satu sama lain. Hanafi – tanpa pesan, tanpa kata-kata akan mengirimkan karya-karyanya kepada saya, saya kira dengan keyakinan hasil kreasi itu tak akan jadi buruk jika saya menambahkan garis, warna dan bentuk yang saya buat," kata Goenawan Mohamad.
"Tak ada diskusi tentang konsep. Kami masing-masing terjun langsung ke dalam karya yang dihadapi, memberi respons. Sebuah dialog intuitif berlangsung."
Agung mengatakan keduanya berkarya dengan metode unik.
"Yang dilakukan adalah memulai menggambar di kertas atau kanvas, tapi tidak diselesaikan, mereka meminta yang lain menyelesaikannya," ujar Agung. Ada kalanya lukisan harus bolak-balik dari Goenawan ke Hanafi, dan sebaliknya.
Sebagian dikerjakan sendiri-sendiri di studio masing-masing tanpa banyak berdiskusi sehingga hasilnya penuh kejutan.
"Ada aspek-aspek tidak terduga, harus merespons sesuatu yang tidak diketahui," katanya.
"Dengan membuka diri terhadap respons dan 'intervensi' pihak lain, baik Hanafi maupun GM sebetulnya tengah membongkar batas-batas wilayah gagasan personal yang soliter, subjektif dan partikular," katanya.
"Pola penciptaaan menjadi tidak linear dan pada akhirnya aleatorik karena masing-masing harus mulai bekerja dari suatu acuan awal yang tak terduga, tak sepenuhnya mereka pahami atau kuasai."
"Ada kalanya mereka juga kebingungan menentukan respons apa lagi yang harus diberikan karena gambar justru sudah nampak 'selesai'."
Hanafi menganalogikan kolaborasi mereka seperti novel yang dibaca dari halaman tengah.
“Karya kami mendorong pemirsa untuk terus menduga akhir dan awal penyebab halaman depan yang tak sempat terbaca. Tetapi sebuah kanvas memiliki banyak pintu, lebih banyak dari yang dimiliki sebuah novel,” ujar Hanafi.
Hanafi mempersilakan pengunjung untuk menentukan seperti apa tolok ukur kesuksesan kolaborasi ini, apakah sukses bila ciri khas mereka melebur, atau sebaliknya sukses bila terlihat jelas mana bagian yang dibuat oleh masing-masing seniman.
Di dalam pameran, pengunjung juga ditawari cara baru dalam menikmati karya seni. Alih-alih dipajang di dinding, dua ruangan di pameran ini menata bingkai-bingkai lukisan di dalam sebuah "bak".
Hanafi mengatakan, biasanya pundak-pundak akan bertubrukan ketika orang sibuk mengamati lukisan yang dipajang di dinding. Kali ini ia mengatur agar pengunjung bisa saling bertatap muka sembari menikmati karya seni.
"57 x 76" juga akan menghadirkan sebuah Lokakarya "Kolaborasi Sebagai Metode” bersama Goenawan Mohamad, Hanafi, dan Agung Hujatnikajennong pada 24 Juni pukul 14.00 WIB di Galeri Nasional Indonesia.
Pameran "57 x 76" bisa dinikmati di Gedung A Galeri Nasional Indonesia pada hingga 2 Juli 2018.
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2018
Tags: