Lebaran 2018
Tradisi mudik di mata sosiolog UIN Sumut
16 Juni 2018 10:53 WIB
Aksi Mudik Di Jalan Aktor Pantomime Wanggi Hoed dari Mixi Imajimimetheatre melakukan pertunjukan "Mudik Movement" di jalanan Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/7). Mudik Movement merupakan aksi seni jalanan yang memberikan kesadaran tentang pentingnya tradisi mudik untuk silaturahmi. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)
Medan (ANTARA News) - Proses mudik atau kembali ke kampung halaman merupakan tradisi yang layak dipertahankan karena salah satu bentuk penyegaran motivasi luhur dalam kehidupan, kata seorang sosiolog.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Dr Ansari Yamamah di Medan, Sabtu, mengatakan, mudik merupakan tradisi yang sangat identik dengan Idul Fitri.
Dari aspek sosial, banyak manfaat dapat diambil dari tradisi yang telah berlangsung puluhan tahun tersebut.
Selama ini, area perkampungan selalu dikaitkan dengan nilai keluhuran karena banyak yang belum terkontaminasi dengan pola hidup yang hedonis.
Dengan mudik, masyarakat dapat kembali menyegarkan motivasi untuk memperkuat pola hidup sederhana setelah menghadapi pola hidup hedonis dan metropolis perkotaan yang menyebabkan nilai keluruhan mulai terkikis.
Sudah menjadi rahasia umum kehidupan perkotaan banyak yang permisif sehingga memunculkan istilah "homo homini lupus" atau kelompok yang kuat memangsa kelompok yang lemah.
"Manusia seperti menjadi serigala bagi manusia lain, itulah gaya hidup perkotaan. Dengan mudik, diharapkan masyarakat bisa lebih toleran," katanya.
Kemudian, dalam menjalani kehidupan di perkampungan melalui mudik, masyarakat juga diharapkan dapat melihat langsung pola kepedulian masyarakat di pedesaan.
Dengan gaya hidup metropolis di perkotaan yang penuh dengan kesibukan dan persaingan, sikap saling peduli itu semakin sulit didapatkan.
Bahkan, tidak jarang masyarakat perkotaan tidak mengenal antara satu dengan yang lainnya, termasuk dengan tetangganya sendiri.
Karena itu, masyarakat yang menggelar mudik diharapkan tidak terjebak pada rutinitas semata, tanpa mampu mengambil hikmah dengan menyegarkan motivasi hidup.
"Dengan mudik, diharapkan nilai luhur di pedesaan bisa diterapkan setibanya di kota," ujar Ansari.
Baca juga: Google Doodle tampilkan tradisi mudik Lebaran khas Indonesia
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Dr Ansari Yamamah di Medan, Sabtu, mengatakan, mudik merupakan tradisi yang sangat identik dengan Idul Fitri.
Dari aspek sosial, banyak manfaat dapat diambil dari tradisi yang telah berlangsung puluhan tahun tersebut.
Selama ini, area perkampungan selalu dikaitkan dengan nilai keluhuran karena banyak yang belum terkontaminasi dengan pola hidup yang hedonis.
Dengan mudik, masyarakat dapat kembali menyegarkan motivasi untuk memperkuat pola hidup sederhana setelah menghadapi pola hidup hedonis dan metropolis perkotaan yang menyebabkan nilai keluruhan mulai terkikis.
Sudah menjadi rahasia umum kehidupan perkotaan banyak yang permisif sehingga memunculkan istilah "homo homini lupus" atau kelompok yang kuat memangsa kelompok yang lemah.
"Manusia seperti menjadi serigala bagi manusia lain, itulah gaya hidup perkotaan. Dengan mudik, diharapkan masyarakat bisa lebih toleran," katanya.
Kemudian, dalam menjalani kehidupan di perkampungan melalui mudik, masyarakat juga diharapkan dapat melihat langsung pola kepedulian masyarakat di pedesaan.
Dengan gaya hidup metropolis di perkotaan yang penuh dengan kesibukan dan persaingan, sikap saling peduli itu semakin sulit didapatkan.
Bahkan, tidak jarang masyarakat perkotaan tidak mengenal antara satu dengan yang lainnya, termasuk dengan tetangganya sendiri.
Karena itu, masyarakat yang menggelar mudik diharapkan tidak terjebak pada rutinitas semata, tanpa mampu mengambil hikmah dengan menyegarkan motivasi hidup.
"Dengan mudik, diharapkan nilai luhur di pedesaan bisa diterapkan setibanya di kota," ujar Ansari.
Baca juga: Google Doodle tampilkan tradisi mudik Lebaran khas Indonesia
Pewarta: Irwan Arfa
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018
Tags: