Artikel
Teroris jangan dibiarkan rusak Lebaran
11 Juni 2018 14:43 WIB
Personel Korps Brimob Mabes Polri mengikuti apel gelar pasukan Operasi Kepolisian Terpusat Ketupat 2018 di Monas, Jakarta, Rabu (6/6/2018). Apel tersebut dalam rangka pengamanan Idul Fitri 1439 H. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Tanggal 15 Juni 2018 akan menjadi hari yang paling dinanti- nanti mayoritas ummat Muslim di Indonesia karena setelah berpuasa hampir satu bulan, maka akhirnya hari yang patut disyukuri yakni Lebaran akan dinikmati sambil mengucapkan syukur kepada Allah SWT.
Para pengurus mesjid, mushola serta surau yang jumlahnya ratusan ribu unit di Tanah Air pasti sudah mulai bersiap- siap mengatur penyelenggaraan Shalat Idul Fitri mulai dari membersihkan bagian dalam mesjid, mengatur halaman yang biasanya masih tetap dipenuhi muslim dan muslimah. Selain itu, pengurus mesjid juga menyiapkan menerima zakat dari warga di sekitarnya..
Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang bergandengan tangan erat bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga sudah mulai menyiapkan diri bagi pengamanan acara sakral itu agar keamanan ummat tetap terjaga. Dikabarkan lebih dari 150.000 prajurit Polri dan TNI dikerahkan agar Muslim dan Muslimah merasa tenang menikmati Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriah itu.
Pertanyaan yang menggelitik adalah kok repot amat sih Polri dan TNI?
Selama beberapa bulan terakhir ini rasa aman rakyat Indonesia terusik oleh ulah segelintir "oknum" yang melancarkan tindak teror seperti menyerang kantor polisi, membunuh dan menyandera polisi. Rakyat pasti tak akan bisa melupakan ketika sekitar 150 orang narapidana teror berulah di Markas Komando Brigade Mobil (Brimob) di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat sehingga timbul korban baik di pihak teroris maupun polisi. Seorang teroris juga kemudian dengan nekatnya berusaha masuk menerobos ke kantor satuan elit Polri itu.
Sementara itu, tiga buah gereja diserang di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu, saat ummat Kristen baru saja menghadiri misa. Serangan mengerikan itu dilancarkan oleh tidak hanya lelaki tapi juga sambil menggandeng istri dan anak- anak mereka. Tindakan kekerasan juga terjadi dengan akan diserbunya markas Kepolisian Resor kota di Medan, Sumatera Utara dan juga terjadi aksi-aksi lainnya di beberapa daerah lainnya.
Bahkan baru-baru ini di Universitas Riau, Pekanbaru, Riau ditemukan adanya warga- warga kampus yang diduga keras terlibat dalam terorisme sehingga satuan Detasemen Khusus 88 Mabes Polri harus turun tangan.
Rakyat Jakarta pasti tak akan lupa ketika pada Januari 2016, terdapat beberapa teroris yang melakukan serangan bersenjata di Jalan Mohammad Husni Thamrin, Jakarta Pusat dengan menyerang sebuah rumah tangan di dekat pertokoan Sarinah, Jakarta Pusat, padahal lokasi ini amat berdekatan dengan Istana Kepresidenan.
Belum lagi ada penyerangan di Terminal Kampung Melayu, Jakarta yang akhirnya semua ulah itu bisa dipatahkan oleh jajaran Polri walaupun harus ada korban jiwa dan luka- luka di jajaran Polri.
Karena menjelang Lebaran 2018 inilah, maka tak heran jika pimpinan Kepolisian Daerah Metro Jaya telah memerintahkan agar tidak terjadi seorang polisi hanya bertugas sendirian pada Operasi Ketupat Jaya tahun 2018 ini ataupun pos-pos pengamanan lainnya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Juwono pada 10 Juni 2018 menegaskan bahwa sekalipun pimpinan Polda Metro Jaya tak menginginkan adanya prajurit yang bersiaga sendirian di satu tempat, situasi kemanana tetap baik dan juga tidak terdeteksi ancaman teror.
Sementara itu akibat adanya penemuan peralatan yang membahayakan masyarakat di Universitas Riau itu, maka tak kurang dari Presiden Joko Widodo telah mengungkapkan bahwa sebenarnya masuknya ajaran radikalisme ke kampus- kampus sudah lama terdeteksi.
Karena itu, proses deradikalisasi harus terus dilakukan termasuk di kampus- kampus. Deradikalisasi harus dilakukan sebab Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah "mencium " bahwa ada sekitar 10 perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah disusupi radikalisme.
Pengamanan Idul Fitri
Polri yang didampingi TNI serta didukung satuan polisi Pamong Praja di semua provinsi, kota dan kabupaten memang telah membuat operasi pengamanan Lebaran tahun 2018 ini. Namun tentu saja tidak tertutup kemungkinan munculnya aksi teror di Tanah Air.
Karena itu, penjagaan ataupun pengamanan tidak hanya harus dilakukan oleh aparat keamanan dan pertahanan tapi juga masyarakat sendiri terutama dengan banyaknya organisasi- organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Nahdlatul Ulama alias NU, Muhammadiyah, Persis. Belum lagi ada organisasi kepemudaan seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Al Wasliyah, , Forum Komunikasi Putra dan Putri TNI dan Polri Indonesia (FKPPI).
Karena hampir semua kalau bisa dibilang seluruh teroris itu adalah Muslim dan Muslimah atau membawa- bawa nama Islam maka tentu saja masyarakat amat menaruh harapan agar semua ormas Islam aktif 100 persen ikut memberantas terorisme itu.
Kalau aksi- aksi ini liar dibiarkan terus- menerus terjadi, maka tindakan yang tak bertanggung jawab itu akan terus merusak kehormatan Islam padahal seperti semua agama lainnya seperti Katolik, Kristen, Hindu dan Budha maka Islam sama sekali tak membenarkan aksi kekerasan termasuk terorisme. Di luar negeri saja, saja dikenal istilah Islamphobia yaitu kebencian atau kemuakan terhadap Islam.
Karena itu, tak heran jika semua ormas Islam itu diharapkan aktif bergerak menekan semaksimal mungkin aksi- aksi teror atau terorisme terutama segelintir atau oknum- oknum pemuda yang gampang dihasut atau "dirayu" untuk melakukan tindak kekerasan.
Di Tanah Air, terdapat beberapa "organisasi" yang acapkali dikaitkan dengan aksi- aksi yang dilancarkan organisasi ekstrim seperti ISIS yang bergerak di sejumlah negara seperti Irak dan Suriah.
Selain ormas- ormas kepemudaan, maka tentu saja banyak mubaligh, khotib, yang bisa banyak berperan untuk mengatasi munculnya teroris- teroris khususnya di kalangan muda. Sebut saja nama- nama kondang Profesor Quraish Shihab, Din Syamsuddin, Aa Gym alias Abdulah Gymnastiar, serta Azyumardi Azra. Nama- nama ini adalah orang atau tokoh ummat Islam Indonesia yang pasti bisa dibilang tak usha diragukan lagi pengetahuannya atau lmu keislamannya.
Jika tokoh- tokoh ini digandeng tangannya untuk menangani aksi- aksi teror misalnya oleh BNPT, Densus 88, Bais Mabes TNI serta Polri, maka tentu masyarakat bisa berharap bahwa terorisme bisa ditekan semaksimal mungkin.
Selain itu di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, serta di berbagai daerah lainnya di Tanah Air, begitu banyak pesantern kesohor yang bisa diajak serta untuk memberantas terorisme.
Tugas Polri, TNI, Kementerian Agama memang "setumpuk" atau amat banyak. Karena itu, sama sekali tak salah jika cendekiawan Muslim pimpinan pesantren, pimpinan ormas- ormas pemuda Islam bahkan tokoh-tokoh Muslimah seperti Mamah Dedeh dirangkul pemerintah secepatnya supaya Lebaran 2018 berlangsung khidmat, tenang, dan tanpa adanya bom atau letusan senjata terdengar di seluruh Tanah Air akibat munculnya aksi- aksi teror.
Para pengurus mesjid, mushola serta surau yang jumlahnya ratusan ribu unit di Tanah Air pasti sudah mulai bersiap- siap mengatur penyelenggaraan Shalat Idul Fitri mulai dari membersihkan bagian dalam mesjid, mengatur halaman yang biasanya masih tetap dipenuhi muslim dan muslimah. Selain itu, pengurus mesjid juga menyiapkan menerima zakat dari warga di sekitarnya..
Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang bergandengan tangan erat bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga sudah mulai menyiapkan diri bagi pengamanan acara sakral itu agar keamanan ummat tetap terjaga. Dikabarkan lebih dari 150.000 prajurit Polri dan TNI dikerahkan agar Muslim dan Muslimah merasa tenang menikmati Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriah itu.
Pertanyaan yang menggelitik adalah kok repot amat sih Polri dan TNI?
Selama beberapa bulan terakhir ini rasa aman rakyat Indonesia terusik oleh ulah segelintir "oknum" yang melancarkan tindak teror seperti menyerang kantor polisi, membunuh dan menyandera polisi. Rakyat pasti tak akan bisa melupakan ketika sekitar 150 orang narapidana teror berulah di Markas Komando Brigade Mobil (Brimob) di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat sehingga timbul korban baik di pihak teroris maupun polisi. Seorang teroris juga kemudian dengan nekatnya berusaha masuk menerobos ke kantor satuan elit Polri itu.
Sementara itu, tiga buah gereja diserang di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu, saat ummat Kristen baru saja menghadiri misa. Serangan mengerikan itu dilancarkan oleh tidak hanya lelaki tapi juga sambil menggandeng istri dan anak- anak mereka. Tindakan kekerasan juga terjadi dengan akan diserbunya markas Kepolisian Resor kota di Medan, Sumatera Utara dan juga terjadi aksi-aksi lainnya di beberapa daerah lainnya.
Bahkan baru-baru ini di Universitas Riau, Pekanbaru, Riau ditemukan adanya warga- warga kampus yang diduga keras terlibat dalam terorisme sehingga satuan Detasemen Khusus 88 Mabes Polri harus turun tangan.
Rakyat Jakarta pasti tak akan lupa ketika pada Januari 2016, terdapat beberapa teroris yang melakukan serangan bersenjata di Jalan Mohammad Husni Thamrin, Jakarta Pusat dengan menyerang sebuah rumah tangan di dekat pertokoan Sarinah, Jakarta Pusat, padahal lokasi ini amat berdekatan dengan Istana Kepresidenan.
Belum lagi ada penyerangan di Terminal Kampung Melayu, Jakarta yang akhirnya semua ulah itu bisa dipatahkan oleh jajaran Polri walaupun harus ada korban jiwa dan luka- luka di jajaran Polri.
Karena menjelang Lebaran 2018 inilah, maka tak heran jika pimpinan Kepolisian Daerah Metro Jaya telah memerintahkan agar tidak terjadi seorang polisi hanya bertugas sendirian pada Operasi Ketupat Jaya tahun 2018 ini ataupun pos-pos pengamanan lainnya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Juwono pada 10 Juni 2018 menegaskan bahwa sekalipun pimpinan Polda Metro Jaya tak menginginkan adanya prajurit yang bersiaga sendirian di satu tempat, situasi kemanana tetap baik dan juga tidak terdeteksi ancaman teror.
Sementara itu akibat adanya penemuan peralatan yang membahayakan masyarakat di Universitas Riau itu, maka tak kurang dari Presiden Joko Widodo telah mengungkapkan bahwa sebenarnya masuknya ajaran radikalisme ke kampus- kampus sudah lama terdeteksi.
Karena itu, proses deradikalisasi harus terus dilakukan termasuk di kampus- kampus. Deradikalisasi harus dilakukan sebab Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah "mencium " bahwa ada sekitar 10 perguruan tinggi negeri (PTN) yang telah disusupi radikalisme.
Pengamanan Idul Fitri
Polri yang didampingi TNI serta didukung satuan polisi Pamong Praja di semua provinsi, kota dan kabupaten memang telah membuat operasi pengamanan Lebaran tahun 2018 ini. Namun tentu saja tidak tertutup kemungkinan munculnya aksi teror di Tanah Air.
Karena itu, penjagaan ataupun pengamanan tidak hanya harus dilakukan oleh aparat keamanan dan pertahanan tapi juga masyarakat sendiri terutama dengan banyaknya organisasi- organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Nahdlatul Ulama alias NU, Muhammadiyah, Persis. Belum lagi ada organisasi kepemudaan seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Al Wasliyah, , Forum Komunikasi Putra dan Putri TNI dan Polri Indonesia (FKPPI).
Karena hampir semua kalau bisa dibilang seluruh teroris itu adalah Muslim dan Muslimah atau membawa- bawa nama Islam maka tentu saja masyarakat amat menaruh harapan agar semua ormas Islam aktif 100 persen ikut memberantas terorisme itu.
Kalau aksi- aksi ini liar dibiarkan terus- menerus terjadi, maka tindakan yang tak bertanggung jawab itu akan terus merusak kehormatan Islam padahal seperti semua agama lainnya seperti Katolik, Kristen, Hindu dan Budha maka Islam sama sekali tak membenarkan aksi kekerasan termasuk terorisme. Di luar negeri saja, saja dikenal istilah Islamphobia yaitu kebencian atau kemuakan terhadap Islam.
Karena itu, tak heran jika semua ormas Islam itu diharapkan aktif bergerak menekan semaksimal mungkin aksi- aksi teror atau terorisme terutama segelintir atau oknum- oknum pemuda yang gampang dihasut atau "dirayu" untuk melakukan tindak kekerasan.
Di Tanah Air, terdapat beberapa "organisasi" yang acapkali dikaitkan dengan aksi- aksi yang dilancarkan organisasi ekstrim seperti ISIS yang bergerak di sejumlah negara seperti Irak dan Suriah.
Selain ormas- ormas kepemudaan, maka tentu saja banyak mubaligh, khotib, yang bisa banyak berperan untuk mengatasi munculnya teroris- teroris khususnya di kalangan muda. Sebut saja nama- nama kondang Profesor Quraish Shihab, Din Syamsuddin, Aa Gym alias Abdulah Gymnastiar, serta Azyumardi Azra. Nama- nama ini adalah orang atau tokoh ummat Islam Indonesia yang pasti bisa dibilang tak usha diragukan lagi pengetahuannya atau lmu keislamannya.
Jika tokoh- tokoh ini digandeng tangannya untuk menangani aksi- aksi teror misalnya oleh BNPT, Densus 88, Bais Mabes TNI serta Polri, maka tentu masyarakat bisa berharap bahwa terorisme bisa ditekan semaksimal mungkin.
Selain itu di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, serta di berbagai daerah lainnya di Tanah Air, begitu banyak pesantern kesohor yang bisa diajak serta untuk memberantas terorisme.
Tugas Polri, TNI, Kementerian Agama memang "setumpuk" atau amat banyak. Karena itu, sama sekali tak salah jika cendekiawan Muslim pimpinan pesantren, pimpinan ormas- ormas pemuda Islam bahkan tokoh-tokoh Muslimah seperti Mamah Dedeh dirangkul pemerintah secepatnya supaya Lebaran 2018 berlangsung khidmat, tenang, dan tanpa adanya bom atau letusan senjata terdengar di seluruh Tanah Air akibat munculnya aksi- aksi teror.
Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018
Tags: