Empat risiko ekonomi 2019, menurut Menkeu
4 Juni 2018 20:07 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers kinerja APBN 2018 di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (17/5/2018). Menkeu menyatakan kinerja APBN hingga April 2018 mengalami perbaikan ke arah positif yang dilihat dari pertumbuhan pendapatan, hingga belanja negara yang mencapai Rp582,9 triliun atau 26,3 persen dari total belanja negara APBN 2018 sebesar Rp2.220,7 triliun. (ANTARA/Sigid Kurniawan)
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan empat risiko yang bisa mempengaruhi kinerja perekonomian pada 2019.
"Risiko pertama adalah tren preferensi konsumsi masyarakat yang lebih memilih tabungan dan perubahan pola konsumsi, namun tidak tersalurkan kembali ke sektor riil," kata Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI membahas Kerangka Ekonomi Makro 2019 di Jakarta, Senin.
Sri Mulyani mengatakan risiko kedua, terdapat potensi dari investor untuk menahan investasi langsung, karena menunggu dari hasil Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019.
Risiko ketiga, adanya normalisasi kebijakan moneter, tidak hanya di Amerika Serikat dan Eropa, yang dapat mempengaruhi kinerja investasi di sektor keuangan.
"Kebijakan perpajakan AS juga berisiko terhadap aliran dana pada negara berkembang, termasuk Indonesia," tambah Sri Mulyani.
Risiko keempat, adanya kebijakan proteksionisme perdagangan AS, yang perlu diwaspadai dampaknya pada kinerja ekspor.
"Selain itu, perlu diwaspadai perkembangan perang dagang AS dengan China," ujarnya.
Baca juga: Menkeu: stabilitas harga pangan beri kepastian inflasi
Baca juga: Menkeu: APBN sebagai instrumen jaga stabilitas
Baca juga: Bank Indonesia proyeksikan ekonomi tumbuh 5,2-5,6 persen 2019
Sri Mulyani mengatakan untuk menghadapi risiko tersebut, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah mitigasi sebagai antisipasi.
Mitigasi tersebut antara lain dengan menyiapkan kebijakan fiskal yang mendorong investasi dan daya saing serta ekspor dalam rangka mewujudkan pertumbuhan yang berkualitas.
Kebijakan fiskal tersebut mencakup pemberian insentif fiskal untuk peningkatan investasi dan belanja negara yang ekspansif dan mengarah kepada sektor yang produktif dan keberlanjutan pembangunan infrastruktur.
Kemudian, mendorong pemanfaatan skema KPBU/PPP untuk meningkatkan peran swasta membangun infrastruktur dan menyiapkan bantuan sosial yang tepat sasaran dan tepat waktu kepada masyarakat miskin.
"Selain itu, adanya sinergi pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong konsumsi," kata Sri Mulyani.
Pemerintah juga menjaga kepastian hukum dan keberlangsungan kebijakan pemerintah serta menciptakan situasi ekonomi dan politik yang terjaga dan kondusif dalam menjaga kepastian usaha dan investasi.
Kemudian, memastikan adanya kelanjutan reformasi kebijakan untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik investasi serta menjaga inflasi untuk mempertahankan daya beli masyarakat.
Selain itu, mendorong ekspor yang berbasis non komoditas (migas) dan memiliki nilai tambah yang tinggi serta memperluas pasar baru di negara-negara yang prospektif seperti Afrika, Timur Tengah, dan Eropa Timur.
"Risiko pertama adalah tren preferensi konsumsi masyarakat yang lebih memilih tabungan dan perubahan pola konsumsi, namun tidak tersalurkan kembali ke sektor riil," kata Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI membahas Kerangka Ekonomi Makro 2019 di Jakarta, Senin.
Sri Mulyani mengatakan risiko kedua, terdapat potensi dari investor untuk menahan investasi langsung, karena menunggu dari hasil Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019.
Risiko ketiga, adanya normalisasi kebijakan moneter, tidak hanya di Amerika Serikat dan Eropa, yang dapat mempengaruhi kinerja investasi di sektor keuangan.
"Kebijakan perpajakan AS juga berisiko terhadap aliran dana pada negara berkembang, termasuk Indonesia," tambah Sri Mulyani.
Risiko keempat, adanya kebijakan proteksionisme perdagangan AS, yang perlu diwaspadai dampaknya pada kinerja ekspor.
"Selain itu, perlu diwaspadai perkembangan perang dagang AS dengan China," ujarnya.
Baca juga: Menkeu: stabilitas harga pangan beri kepastian inflasi
Baca juga: Menkeu: APBN sebagai instrumen jaga stabilitas
Baca juga: Bank Indonesia proyeksikan ekonomi tumbuh 5,2-5,6 persen 2019
Sri Mulyani mengatakan untuk menghadapi risiko tersebut, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah mitigasi sebagai antisipasi.
Mitigasi tersebut antara lain dengan menyiapkan kebijakan fiskal yang mendorong investasi dan daya saing serta ekspor dalam rangka mewujudkan pertumbuhan yang berkualitas.
Kebijakan fiskal tersebut mencakup pemberian insentif fiskal untuk peningkatan investasi dan belanja negara yang ekspansif dan mengarah kepada sektor yang produktif dan keberlanjutan pembangunan infrastruktur.
Kemudian, mendorong pemanfaatan skema KPBU/PPP untuk meningkatkan peran swasta membangun infrastruktur dan menyiapkan bantuan sosial yang tepat sasaran dan tepat waktu kepada masyarakat miskin.
"Selain itu, adanya sinergi pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong konsumsi," kata Sri Mulyani.
Pemerintah juga menjaga kepastian hukum dan keberlangsungan kebijakan pemerintah serta menciptakan situasi ekonomi dan politik yang terjaga dan kondusif dalam menjaga kepastian usaha dan investasi.
Kemudian, memastikan adanya kelanjutan reformasi kebijakan untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik investasi serta menjaga inflasi untuk mempertahankan daya beli masyarakat.
Selain itu, mendorong ekspor yang berbasis non komoditas (migas) dan memiliki nilai tambah yang tinggi serta memperluas pasar baru di negara-negara yang prospektif seperti Afrika, Timur Tengah, dan Eropa Timur.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018
Tags: