Jaksa: korupsi BLBI belum kedaluwarsa pada 2018
28 Mei 2018 14:18 WIB
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung bersiap meninggalkan ruangan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4/2018). (ANTARA/Hafidz Mubarak A)
Jakarta (ANTARA News) - Jaksa penuntut umum KPK menilai kasus dugaan tindak pidana korupsi penghapusan piutang BDNI dan penerbitan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham yang merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun hingga 2018 belum kedaluwarsa.
"Penuntut umum masih memiliki kewenangan penuntutan pidana perkara karena waktu tindak pidana (tempus delicti) perkara terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan waktu pidana perkara sesuai dengan surat dakwaan terjadi pada tanggal 21 Oktober 2003, 29 Oktober 2003, 13 Februari 2004, dan 26 April 2004," kata jaksa penuntut umum KPK Putra Iskandar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam nota keberatan (eksepsi) penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, disebutkan bahwa BDNI untuk mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA) yang telah dinyatakan final closing pada tanggal 25 Mei 1999 sehingga tindak pidana seharusnya dihitung kedaluwarsa sejak final closing MSAA, artinya perkara hapus alias kedaluwarsa pada tanggal 25 Mei 2017.
KPK menurut jaksa melakukan penyidikan berdaarkan surat perintah penyidikan tertanggal 20 Maret 2017 atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian surat pemenuhan kewajiban saham/surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pengendali BDNI pada tahun 2004 yang diduga dilakukan Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dakwaan terhadap Syafruddin adalah Pasal 2 Ayat (1) atas Pasal 3 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan dalam har tertentu dapat diancam pidana mati denda paling banyak Rp1 miliar.
Berdasarkan Pasal 78 Ayat (1) Butir 4 KUHP mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, masa kedaluwarsa adalah sesudah 18 tahun.
"Berdasarkan ketentuan tersebut kedaluwarsa penuntutan perkara a quo adalah pada tanggal 22 Oktober 2021 sehingga berdasarkan uraian di atas maka nota eksepsi tim penasihat hukum terdakwa haruslah ditolak," ungkap jaksa.
Hakim akan menjatuhkan putusan sela pada hari Kamis, 31 Maret 2018.
"Penuntut umum masih memiliki kewenangan penuntutan pidana perkara karena waktu tindak pidana (tempus delicti) perkara terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan waktu pidana perkara sesuai dengan surat dakwaan terjadi pada tanggal 21 Oktober 2003, 29 Oktober 2003, 13 Februari 2004, dan 26 April 2004," kata jaksa penuntut umum KPK Putra Iskandar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam nota keberatan (eksepsi) penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, disebutkan bahwa BDNI untuk mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA) yang telah dinyatakan final closing pada tanggal 25 Mei 1999 sehingga tindak pidana seharusnya dihitung kedaluwarsa sejak final closing MSAA, artinya perkara hapus alias kedaluwarsa pada tanggal 25 Mei 2017.
KPK menurut jaksa melakukan penyidikan berdaarkan surat perintah penyidikan tertanggal 20 Maret 2017 atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian surat pemenuhan kewajiban saham/surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pengendali BDNI pada tahun 2004 yang diduga dilakukan Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dakwaan terhadap Syafruddin adalah Pasal 2 Ayat (1) atas Pasal 3 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan dalam har tertentu dapat diancam pidana mati denda paling banyak Rp1 miliar.
Berdasarkan Pasal 78 Ayat (1) Butir 4 KUHP mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, masa kedaluwarsa adalah sesudah 18 tahun.
"Berdasarkan ketentuan tersebut kedaluwarsa penuntutan perkara a quo adalah pada tanggal 22 Oktober 2021 sehingga berdasarkan uraian di atas maka nota eksepsi tim penasihat hukum terdakwa haruslah ditolak," ungkap jaksa.
Hakim akan menjatuhkan putusan sela pada hari Kamis, 31 Maret 2018.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018
Tags: