Jakarta (ANTARA News) - Kepala Pusat Studi Keamanan Nasional dan Global Universitas Padjajaran Yusa Djuyandi mengatakan setiap proses penangkapan terduga pelaku teror dalam implementasi UU Antiterorisme, tetap harus seizin pengadilan.

"Proses penangkapan harus atas seizin pengadilan. Jadi ketika Polisi mendapat laporan dari intel, maka polisi melakukan penelusuran, ketika muncul kecurigaan, maka polisi berkoordinasi dengan pengadilan untuk izin penangkapan dan interogasi," ujar Yusa saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.

Yusa mengatakan proses tersebut penting dilakukan guna menghindari adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam proses implementasi RUU Antiterorisme yang telah disetujui DPR RI untuk disahkan.

"Jadi polisi tidak bisa bertindak sendiri. Di sisi lain Polri harus terbuka kepada masyarakat," ujar dia.

Sementara itu terkait dengan persetujuan DPR atas pengesahan RUU Antiterorisme, menurut Yusa, keberadaan undang-undang baru itu secara prosedural akan memudahkan aparat untuk menangkal terjadinya teror, sebab ada kewenangan tambahan yang diperoleh anggota Polri untuk secara cepat mengambil tindakan jika ada indikasi gerakan teror.

Di sisi lain undang-undang itu, menurutnya, juga memungkinkan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

"Akan tetapi kita selaku masyarakat perlu terus mengontrol agar apa yang kelak dilakukan oleh Polri maupun TNI selalu berdasarkan prosedur, tujuannya agar tidak ada salah sasaran. Juga jika ada yang ditangkap namun tidak terbukti maka polisi harus memulihkan nama baik orang tersebut," kata dia.