MK tolak uji aturan penahanan dalam KUHAP
23 Mei 2018 19:10 WIB
Dokumen foto Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK Aswanto (kiri) dan Suhartoyo (kanan) memimpin sidang uji materi di MK. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Jakarta (ANTARA News) - Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan pemohon untuk uji materiil aturan penahanan dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh seorang advokat bernama Sutarjo.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Dalam dalilnya, pemohon berpendapat bahwa penahanan adalah perampasan kemerdekaan seseorang dan seharusnya pembentuk UU memberikan kontrol terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Terkait dengan hal itu, MK berpendapat bahwa ada batasan-batasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Meskipun penahanan pada hakikatnya adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap hak masyarakat secara tidak langsung, MK menilai terhadap pejabat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan juga dipersyaratkan untuk bertindak secara sangat hati-hati.
"Oleh sebab itu, sebenarnya kata kunci tindakan penahanan dalam sistem peradilan, termasuk di Indonesia adalah suatu tindakan yang baru dapat dinyatakan sah apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu," urai Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Meskipun dalil pemohon hanya terbatas pada permasalahan tindakan penahanan yang dilakukan oleh penyidik pembantu atau penyidik dan penuntut umum, namun MK berpendapat hal tersebut tetap mempersoalkan hakikat tindakan penahanan itu sendiri.
Kalaupun ada praktik-praktik transaksional seperti yang didalilkan pemohon, MK berpendapat bahwa hal itu adalah persoalan implementasi yang bergantung pada integritas pejabat masing-masing dan tidak relevan, apabila pemohon mengaitkan dengan inkonstitusionalnya norma dari pasal-pasal tersebut.
"Sebenarnya, mekanisme kontrol yang dikhawatirkan Pemohon bukanlah tidak ada, sebab secara yuridis undang-undang telah menyediakan sarana untuk itu," tambah Suhartoyo.
Dalam sidang pendahuluan pemohon menyatakan bahwa pihaknya merasa keberatan dengan beberapa ketentuan dalam KUHAP terkait tidak diperlukannya izin dari pengadilan apabila aparatur negara mengeluarkan perintah penangkapan dan penahanan.
Pemohon menganggap situasi ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur negara. Pemohon mengatakan bahwa kewenangan penahanan adalah mutlak milik hakim, bukan penyidik maupun jaksa penuntut umum.
Pemohon juga mengatakan bahwa setiap tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan adalah suatu tindakan perampasan HAM.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Dalam dalilnya, pemohon berpendapat bahwa penahanan adalah perampasan kemerdekaan seseorang dan seharusnya pembentuk UU memberikan kontrol terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Terkait dengan hal itu, MK berpendapat bahwa ada batasan-batasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Meskipun penahanan pada hakikatnya adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap hak masyarakat secara tidak langsung, MK menilai terhadap pejabat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan juga dipersyaratkan untuk bertindak secara sangat hati-hati.
"Oleh sebab itu, sebenarnya kata kunci tindakan penahanan dalam sistem peradilan, termasuk di Indonesia adalah suatu tindakan yang baru dapat dinyatakan sah apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu," urai Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Meskipun dalil pemohon hanya terbatas pada permasalahan tindakan penahanan yang dilakukan oleh penyidik pembantu atau penyidik dan penuntut umum, namun MK berpendapat hal tersebut tetap mempersoalkan hakikat tindakan penahanan itu sendiri.
Kalaupun ada praktik-praktik transaksional seperti yang didalilkan pemohon, MK berpendapat bahwa hal itu adalah persoalan implementasi yang bergantung pada integritas pejabat masing-masing dan tidak relevan, apabila pemohon mengaitkan dengan inkonstitusionalnya norma dari pasal-pasal tersebut.
"Sebenarnya, mekanisme kontrol yang dikhawatirkan Pemohon bukanlah tidak ada, sebab secara yuridis undang-undang telah menyediakan sarana untuk itu," tambah Suhartoyo.
Dalam sidang pendahuluan pemohon menyatakan bahwa pihaknya merasa keberatan dengan beberapa ketentuan dalam KUHAP terkait tidak diperlukannya izin dari pengadilan apabila aparatur negara mengeluarkan perintah penangkapan dan penahanan.
Pemohon menganggap situasi ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur negara. Pemohon mengatakan bahwa kewenangan penahanan adalah mutlak milik hakim, bukan penyidik maupun jaksa penuntut umum.
Pemohon juga mengatakan bahwa setiap tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan adalah suatu tindakan perampasan HAM.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2018
Tags: