Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo memastikan kondisi global masih memengaruhi depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar AS hingga mendekati level Rp14.200-an.

"Kondisi global menarik pelemahan di mata uang regional, termasuk Indonesia," kata Dody saat ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin.

Dody mengatakan kondisi perekonomian di AS yang membaik telah menyebabkan adanya penguatan dolar AS terhadap mata uang di negara-negara berkembang.

Namun, ia memastikan bank sentral melakukan intervensi di pasar mata uang dan pasar Surat Utang Negara untuk menjaga stabilitas dan likuiditas.

"BI tetap berada di pasar dan menjaga stabilitas rupiah, meskipun tentunya kita tidak melawan arah pasar,`" ujar Dody.

Dody juga menegaskan tidak ada faktor domestik yang menyebabkan perlemahan rupiah, karena penyebab utama volatilitas mata uang adalah tekanan dari eksternal.

"Tidak ada faktor domestik, yang menyebabkan rupiah melemah, tapi positifnya juga belum ada, netral. Di semua negara `emerging` juga menunjukkan arah netral untuk domestik," ujarnya.

Dody mengatakan hal terpenting yang bisa dilakukan saat ini menjaga sentimen dan keyakinan para pelaku pasar agar rupiah tidak bergejolak terlalu dalam.

"Kini kembali ke masalah sentimen, keyakinan dan harus diperkuat. Komunikasi menjadi kuncinya," katanya.

Sebelumnya, nilai tukar Rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Senin sore, melemah 45 poin menjadi Rp14.178 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.133 per dolar AS.

Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta, Senin mengatakan penguatan dolar AS terjadi seiring dengan meredanya kekhawatiran pasar terhadap perang dagang antara AS dengan China.

"Meredanya ketegangan perdagangan mendukung aset berdenominasi dolar AS dan dapat menjadi pertanda baik bagi ekonomi AS," katanya.

Ia menambahkan bahwa imbal hasil obligasi Amerika Serikat yang di atas level 3 persen untuk tenor 10 tahun juga masih menjadi salah satu faktor yang telah memicu permintaan dolar AS meningkat.

"Tingginya imbal hasil obligasi AS itu menjadi penggerak untuk permintaan dolar AS," kata Ariston.