Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers menilai meskipun 20 tahun reformasi terdapat banyak media abal-abal, mereka sebaiknya dirangkul untuk diedukasi agar menjadi media yang profesional.
"Sebenarnya Dewan Pers tidak ada hak sekali pun untuk memberantas media abal-abal. Mereka sebenarnya bisa ditarik menjadi pers benar asal ada edukasi," ujar Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar kepada Antara di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis.
Sebanyak 43 ribu media daring tidak patuh pada aturan dan tidak menjalankan nilai jurnalisme yang baik diakuinya merupakan pekerjaan besar untuk Dewan Pers, misalnya hanya untuk mendatanya pun akan sulit.
Djauhar menekankan pentingnya kompetensi pewarta dalam menulis hal yang mengkritik, baik sosial mau pun pemerintah.
Selain edukasi, menurut Djauhar, pewarta dari media abal-abal juga harus bersedia melakukan sertifikasi agar berpindah tidak lagi di kawasan media abal-abal.
"Ini bagian edukasi mendidik, jangan sampai mereka terjebak. Mungkin mereka sendiri tidak tahu. Itu tugas bersama untuk mengedukasi mereka," ucap Djauhar.
Pewarta tersebut sudah berpraktek menjadi pers sehingga disayangkan apabila karena ketidaktahuan mereka kemudian melakukan hal yang tidak sesuai semangat reformasi.
Pers, kata dia, harus profesional, bukan menjadi pers yang mencari uang dengan cara pintas, seperti memeras narasumber.
Berdasarkan survei The Economist, sebanyak 87 persen masyarakat Indonesia percaya kepada media arus utama. Bahkan di Indonesia, tingkat kepercayaan media arus utama lebih tinggi daripada pada pemerintah.
Untuk itu, marwah jurnalisme profesional harus dijaga demi menjaga kepercayaan masyarakat.
Dewan Pers: Media abal-abal diedukasi agar profesional
17 Mei 2018 21:10 WIB
Dewan Pers (ANTARA)
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: