Jakarta (ANTARA News) - Media sosial khususnya platform Telegram telah memberi dampak besar terhadap tumbuhnya gerakan radikal di Indonesia yang bisa mengubah seseorang dari semula hanya radikalis menjadi pelaku teror hanya dalam tempo satu tahun, kata seorang pengamat masalah terorisme.
"Kanal-kanal di Telegram banyak digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan konten negatif dan menanamkan paham radikal dan propaganda terkait terorisme," kata Solahudin, pengamat masalah terorisme dari Universitas Indonesia dalam Forum Merdeka Barat (FMB) yang mengangkat tema "Cegah dan Perangi Terorisme" di Jakarta, Rabu.
Solahudin mengatakan berdasarkan hasil penelitiannya terhadap narapidana terorisme, 85 persen dari mereka melakukan aksi teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun sejak pertama kali terpapar paham ISIS.
"Kemudian saya mencoba membandingkan dengan terpidana terorisme sejak 2002-2012. Ternyata, para napiter ketika itu rata-rata memerlukan waktu 5-10 tahun, sejak pertama kali terpapar sampai dengan terlibat dalam aksi terorisme," kata Solahudin
Solahudin juga menemukan bahwa hampir semua terpidana kasus teroris itu memiliki akun sosial media. "Sehingga saya berkesimpulan semua pelaku aksi terorisme memang memiliki keterkaitan dengan sosial media," tegas dia.
Baca juga: Berdasarkan penelitian, medsos mempercepat radikalisasi
Kisah teradikalisasinya Anggi
Ia memberi contoh peran media sosial dalam mempercepat seseorang dari radikal menjadi teroris pada diri terpidana teroris bernama Anggi, yang ditangkap polisi pada Agustus 2017 karena berencana membom Bandung dan Jakarta.
"Anggi yang merupakan buruh migran di Hongkong ditangkap pada Agustus 2017 karena merencanakan pemboman di Bandung, bahkan sebagai pengantinnya, dan Jakarta. Anggi itu berasal dari Klaten. Pada November 2016, Anggi masih diketahui bukanlah sosok perempuan yang agamis, bahkan tidak berhijab. Tapi, pada Desember 2016, teman-temannya mulai melihat adanya perubahan," kata Solahudin.
Kemudian, pada Februari-Maret 2017, Anggi mengunduh dia tengah dibaiat di sebuah taman di Hongkong oleh Abu Bakar al Bagdadi. Pada April 2017, sambung dia, Anggi ditangkap aparat Hongkong dan dideportasi ke Indonesia.
Bagaimana hal itu terjadi? Solahudin mengungkapan, ternyata Anggi dalam kurun singkat bergabung dengan lebih dari 30 private chanel Telegram. Bahkan kemudian, kata dia, Anggi membuat chanel Telegram sendiri dan menjadi admin.
"Artinya, selama 24 jam Anggi terpapar pesan-pesan radikal sehingga proses radikalisasi ke dirinya berjalan sangat kencang. Inilah sebabnya sosial media sangat penting terkait radikalisasi. Bahkan, berperan sangat signifikan," kata Solahudin lagi.
Hadir sebagai narasumber dalam FMB 9 kali ini antara lain Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Donny Budi Utoyo dan Ketua Dewan Pers Joseph Adi Prasetyo.
Baca juga: Radikalisasi via dunia maya sudah membahayakan
Telegram, radikalisasi dan cerita bagaimana napiter Anggi teradikalisasi
16 Mei 2018 16:03 WIB
Aplikasi telegram (ANTARA News/Natisha)
Pewarta: Zita Meirina
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018
Tags: