"Penghapusan Dwi Fungsi telah dilaksanakan dengan baik, setidaknya itu menjadi poin penting," ujarnya, ketika dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Sejumlah perubahan yang substansial dalam institusi TNI, menurut dia, dilakukan demi mewujudkan tentara Indonesia yang tangguh dan profesional.
Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) itu mencatat ada beberapa kemajuan TNI pasca-reformasi 1998, yakni reformasi memisahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang berubah menjadi TNI, dari parlemen sehingga menjadi langkah positif untuk menjauhkan militer dari politik praktis.
Selain itu, ia menilai bahwa zaman Orde Baru (Orba) banyak jabatan di institusi sipil diberikan atau diduduki oleh militer.
Presiden RI periode 1999--2001 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kala itu kemudian membuat beberapa kebijakan yang berkaitan dengan pengurangan jabatan-jabatan di pemerintahan sipil untuk kalangan militer.
Sampai akhirnya lahir Undang Undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, di mana pada pasal 47 ayat (1) menjelaskan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Pasal 2 huruf d UU TNI secara jelas mengatakan bahwa tentara profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia (HAM), ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Militer, menurut Hendardi, tidak lagi menjadi penopang rezim, namun menjadi alat negara yang bergerak sesuai dengan keputusan politik negara, seperti diatur dalam UU TNI pasal 5.
Baca juga: Hendardi: TNI butuh pemimpin yang bisa jaga soliditas
Perubahan kemajuan lainnya, dinilainya, dominasi TNI Angkatan Darat (AD) dalam posisi Panglima TNI telah berubah pasca-reformasi. Posisi Panglima TNI kini dijabat bergantian antar-matra angkatan, seperti halnya dalam pasal 13 ayat (4) UU TNI.
Selain kemajuan, dikemukakannya, TNI juga tetap memiliki catatan yang masih menjadi perkerjaan rumah, yakni persoalan peradilan militer.
"Kasus-kasus yang melibatkan prajurit TNI dengan masyarakat sipil seringkali mendapat perhatian. Lantaran punishment terhadap prajurit dijatuhkan di ruang yang tertutup dari publik. Dalam rangka persamaan di depan hukum dan akuntabilitas, harusnya hal ini tidak terjadi," ujarnya.
Persoalan HAM di masa lalu yang melibatkan TNI, dinilainya pula, sampai sekarang tidak kunjung menemukan titik temu, misalnya kasus penculikan aktivis pada 1998.
"Selama kasus ini tidak selesai, selama itu pula kasus HAM ini menyandera institusi TNI maupun prajurit atau purnawirawan secara personal," kata Hendardi.
Ia menyatakan, persoalan perbantuan TNI kepada Polri ini harus jelas bagaimana prasyarat dan batasannya, misalnya syarat keadaan, jumlah prajurit, batas waktu dan seterusnya.
"Acapkali kita lihat, justru dalam hal penggusuran, pengamanan demo yang relatif tidak begitu besar, TNI tampak terlibat dalam membantu Polri. Hal ini tentu harus clear," tuturnya.
Di tahun politik 2018--2019, ia mengemukakan, TNI tentu tetap diharapkan netralitas dan profesionalitasnya.
"Jangan sampai tergoda politik praktis, meskipun terdapat calon yang berlatar belakang militer dalam kontestasi politik praktis tersebut," demikian Hendardi.