Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta pemerintah tidak menganggap enteng pelemahan nilai tukar rupiah yang pada awal minggu ini sudah menembus angka Rp14.000 per dollar Amerika Serikat.

"Meskipun selalu disangkal oleh pemerintah, Indonesia saat ini sebenarnya sudah berada di tahap awal krisis," kata Fadli Zon, dalam keterangan tertulisnya, Rabu.

Fadli mengingatkan, nilai tukar memiliki efek domino yang sangat besar dalam struktur perekonomian Indonesia. Dalam periode Februari hingga Maret 2018 saja, misalnya, pemerintah sudah menghabiskan sekitar 2 miliar dolar devisa untuk menyelamatkan rupiah. "Itupun ternyata tak sanggup mencegah rupiah jatuh ke angka Rp.14.000 per dollar,” katanya.

Menurut catatan Fadli, selama periode pemerintahan saat ini, mulai dari kuartal empat 2014 hingga kini, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 13 persen.

Ia mengatakan, akibat pelemahan rupiah ini maka ada risiko di depan mata . "Misalnya, terkait dengan utang, karena sekitar 41 persen utang kita ada dalam denominasi mata uang asing."

Artinya, perubahan kurs rupiah atas mata uang bersangkutan akan mempengaruhi posisi utang kita secara keseluruhan.”

Menurut data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 31 Desember 2017 lalu, katanya, dari total utang sebesar Rp3.938,45 triliun, utang dalam denominasi rupiah adalah sebesar 59 persen, dollar Amerika 29 persen, Yen Jepang 6 persen, Euro 4 persen, SDR IMF 1 persen, dan lainnya sebesar 1 persen.

"Jadi, utang kita yang berdenominasi valuta asing sebesar 41 persen, baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah.”

Turunnya nilai tukar rupiah, katanya, jelas akan berpengaruh terhadap beban pembayaran utang, baik bunga utang maupun cicilan jatuh tempo.

"Ujungnya, APBN kita akan semakin terbebani pembayaran utang.”

Menurut Fadli, turunnya nilai tukar rupiah juga telah berimbas pada turunnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Terbukti, sudah tiga kali berturut-turut lelang SUN (Surat Utang Negara) tak pernah mencapai target, katanya.

“Pada 24 April, misalnya, SUN hanya terjual Rp6.150 miliar, padahal target indikatifnya Rp17.000 miliar. Berikutnya, pada 2 Mei 2018, SBSN (Syariah) hanya terjual Rp 5.530 miliar dari target indikatif Rp 8.000 miliar.

Terakhir adalah kemarin, tanggal 8 Mei, pemerintah bahkan gagal menjual SUN sama sekali dari Rp17.000 miliar yang ditargetkan.

Selain itu, katanya, melemahnya rupiah juga ternyata tak punya dampak positif terhadap nilai ekspor.

Eksportir, ujar Fadli, justru lebih menginginkan nilai tukar rupiah yang stabil, karena bagaimanapun komponen bahan baku atau komponen produksi komoditas kita masih banyak yang diimpor.

Lagi pula, nilai ekspor Indoneia juga cukup kecil jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

“Sekali lagi, saya meminta agar pemerintah bersikap transparan mengenai risiko ekonomi yang sedang kita hadapi. Jangan kecilkan arti depresiasi rupiah," kata Fadli.