Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menyatakan,
"Kalau dilihat dari pendapatan per kapita, harga rokok kita sudah termasuk tertinggi di dunia."

Ia menjelaskan, harga rokok di Indonesia lebih tinggi dari negara seperti Jepang, Korea, Tiongkok alias China, Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.

Penilaian ini berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio price relative to income atau rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.

Menurut dia, Rabu dihubungi dari Jakarta, banyak orang yang terlibat di dalam industri ini, mulai dari hulu sampai hilir.

"Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah pekerja di industri rokok mencapai lebih dari 6 juta orang, sehingga efeknya terhadap perekonomian megara akan turut terkena dampak dari terpuruknya industri rokok," jelasnya.

Selama ini, katanya, industri rokok menjadi andalan pemerintah untuk penerimaan negara dari cukai industri hasil tembakau.

Untuk 2018, pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai industri hasil tembakau sebesar Rp148 triliun.

"Jadi jangan dilihat hanya sebagai pengendalian, dengan harga naik kemudian semua beres. Justru ini jangan sampai membuat komplikasi-komplikasi baru yang akan merugikan perekonomian secara keseluruhan," ujarnya.

Senada dengan dia, Kepala Humas Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Deni Sujantoro, mengatakan, harga rokok Indonesia sudah mahal.

"Kita juga harus lihat harga 10.000 di kita, tentu beda dengan 10.000 di Singapura. Itu tergantung pada pendapatan domestik bruto, termasuk pendapatan perkapita masyarakat. Kalau kita lihat, kita di ASEAN juga sebenarnya harga rokok sudah termasuk tinggi," kata dia.