Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menyatakan akan terus mengedepankan diplomasi perdagangan untuk sektor kelapa sawit Indonesia, meskipun Parlemen Uni Eropa menyatakan akan mengeluarkan komoditas tersebut sebagai salah satu bahan dasar biofuel di Eropa pada 2021.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah tetap akan mengedepankan dialog dan lobi khususnya terkait langkah Parlemen Uni Eropa yang mendiskriminasi produk kelapa sawit.

"Pemerintah Indonesia akan menerapkan diplomasi perdagangan, dengan mengedepankan dialog, dan lobi, serta menjelaskan langkah yang akan diambil oleh pemerintah untuk penerapan prinsip keberlanjutan dalam sektor kelapa sawit," kata Luhut di Jakarta, Selasa.

Menurutnya, sektor kelapa sawit di Indonesia merupakan penggerak roda perekonomian karena telah memberikan lapangan pekerjaan bagi kurang lebih sebanyak 17,5 juta masyarakat Indonesia, dimana mayoritas adalah petani berskala kecil.

Resolusi Parlemen Uni Eropa mengusulkan penghapusan minyak sawit sebagai sumber biodiesel. Saat ini, resolusi tersebut masih belum mengikat secara hukum, namun pemerintah Indonesia terus berupaya mencegah resolusi itu untuk menjadi keputusan bersama Uni Eropa.

Sektor industri sawit di dalam negeri, menurut Luhut, merupakan sektor yang sangat strategis. Jika saat ini luas lahan yang mencapai 12 juta hektare bisa dioptimalkan dengan produktivitas 4-6 ton per hektare, maka hasilnya mencapai 40-45 juta ton kelapa sawit dari dalam negeri.

Luhut menambahkan, jika produktivitas tersebut bisa dikelola dengan baik dan harga CPO bisa berada pada kisaran 800-850 dolar AS per ton, maka potensi penerimaan negara hanya dari kelapa sawit saja bisa mencapai 45 miliar dolar AS.

"Itu baru dari situ saja, kita belum bicara turunan dari produk kelapa sawit. Jika kita bicara dengan turunannya, (penerimaan negara) bisa kita terima 60 miliar dolar AS. Jadi ini merupakan industri yang sangat strategis untuk ke depan," ujar Luhut.