Sejak pertama diluncurkan di ruas jalur kereta api yang menghubungkan Beijing dengan Shanghai pada September 2017, China telah mengklaim bahwa kecepatan Fuxing tak ada bandingannya.

Kereta cepat generasi terbaru China itu bukan hanya dibanggakan karena kecepatannya hingga 400 kilometer per jam, melainkan juga karena 100 persen buatan dalam negeri China.

Oleh sebab itu, sejak diluncurkan hingga saat ini penumpang Fuxing tidak pernah sepi karena waktu tempuh kedua kota terbesar di China itu dapat dipersingkat hingga 45 menit dibandingkan kereta api cepat generasi sebelumnya.

Fuxing, yang pada September-Oktober 2017 hanya memiliki jadwal perjalanan Beijing-Shanghai sekali dalam sehari, kini telah menjadi 10 kali dalam sehari dengan harga tiket 553 Reminbi atau RMB (Rp1,180 juta) untuk kelas ekonomi, 933 RMB (Rp2,134 juta) untuk kelas utama, dan 1.748 RMB (Rp3,758 juta) untuk kelas bisnis.

Tarif Fuxing relatif lebih murah untuk jarak tempuh 1.068 kilometer dari Beijing menuju Shanghai dan arah sebaliknya dengan waktu tempuh empat jam 36 menit jika dibandingkan dengan tarif kereta cepat Jepang Shinkansen sebesar 18.250 yen (Rp2,336 juta) untuk kelas ekonomi dari Tokyo menuju Osaka yang berjarak 396 kilometer dengan waktu tempuh dua jam 30 menit.

Meskipun kecepatan maksimumnya mencapai 400 kilometer per jam, Fuxing melaju dengan kecepatan rata-rata 350 kilometer per jam. Lebih cepat memang dibandingkan dengan generasi sebelumnya antara 285-300 kilometer per jam yang membutuhkan lima jam 30 menit di jalur Beijing-Shanghai.

Selain karena kecepatan yang lebih tinggi, dalam melakukan perjalanan dari stasiun Beijing Nan menuju stasiun Shanghai Hongqiao, Fuxing yang bodinya berwarna silver metalik dengan strip merah itu hanya berhenti di tiga stasiun, yakni Tianjin Nan (Kota Tianjin), Jinnan (Provinsi Shandong), dan Nanjing Nan (Provinsi Jiangsu).

Berbeda dengan kereta api cepat generasi sebelumnya yang bodinya berawarna putih dengan strip biru berhenti di lima hingga delapan stasiun di ruas jalur terpadat itu.

Sayangnya hingga saat ini, Fuxing hanya melesat di jalur Beijing-Shanghai karena jalur-jalur khusus kereta api cepat lainnya di China belum direkomendasikan untuk dilalui dengan kecepatan di atas 300 kilometer per jam.


Butuh 13 tahun

China butuh waktu 13 tahun untuk mengembangkan kereta cepat berkelas dunia itu dengan belajar dari negara-negara maju, seperti Jepang, Prancis, Jerman, dan Kanada.

Kecepatan Fuxing memang terkalahkan oleh kereta levitasi magnetik (maglev) di Kota Shanghai yang mampu melaju 431 kilometer per jam.

Namun Fuxing sudah melampaui kecepatan AGV Italo di Italia (360 km/jam), Siemens Velaro di Spanyol (350 km/jam), Talgo di Spanyol (350 km/jam), Shinkansen di Jepang (320 km/jam), dan Alstom Euroduplex di Prancis (320 km/jam), sebagaimana lansiran trendrr.net.

Merupakan hal yang wajar kalau China memiliki kereta tercepat di dunia, karena negara berpenduduk terbanyak itu memiliki jalur kereta api sepanjang 22 ribu kilometer atau 60 persen dari panjang jalur kereta api di muka bumi ini.

Melihat kenyataan bahwa kereta api masih menjadi moda transportasi utama masyarakat, maka pemerintah setempat berupaya mengalihkan pola penggunaan transportasi dari udara ke darat.

Kereta cepat dianggap mampu mengurangi tingginya frekuensi penerbangan di China, khususnya untuk jarak pendek dan menengah.

Fuxing tidak hanya mampu menjawab hambatan cuaca yang sering kali melanda jalur transportasi udara, melainkan juga memperlancar arus perpindahan orang di kedua kota yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan perekonomian China itu.


Jakarta-Bandung

Tepat dua tahun sebelum Fuxing meluncur, pemerintah Indonesia memutuskan memberikan tender proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung kepada China.

Proyek tersebut menjadi perhatian dunia. Apalagi jika dikaitkan dengan kekecewaan Jepang yang sejak 2008 telah merintis rencana mengekspor Shinkansen ke Indonesia, bahkan telah melakukan studi kelayakan di jalur sepanjang 150 kilometer itu.

Masyarakat awam di daratan Tiongkok pun tahu jika negaranya memenangkan tender proyek tersebut.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika akhir-akhir ini Indonesia di mata warga China identik dengan kereta api cepat buatan negaranya.

Jaringan kereta api cepat Jakarta-Bandung bukan sekedar yang pertama di kawasan Asia Tenggara, melainkan juga yang pertama kalinya bagi China mengekspor kereta api berkecepatan tinggi tersebut.

"Rekan-rekan saya ke sana sebagai bentuk keseriusan kami membangun jaringan kereta cepat di Indonesia," kata seorang supervisor CRRC Jiangmen yang bertanggung jawab atas perakitan dan perbaikan kereta cepat untuk wilayah selatan dan barat daya China kepada Antara di Jiangmen, Provinsi Guangdong, beberapa waktu yang lalu.

Baca juga: KA cepat Jakarta-Bandung selesai dalam tiga tahun

Baca juga: Menteri BUMN tinjau terowongan kereta cepat Jakarta-Bandung

Baca juga: Pemerintah upayakan realisasi kereta cepat Jakarta-Bandung

Masyarakat dan pemerintah China pun harap-harap cemas dengan keberlangsungan proyek multimiliar dolar AS tersebut.

Masyarakat China tidak terbiasa dengan proyek pembangunan infrastruktur yang dikerjakan dalam waktu tidak pasti. Hal itu perlu dimaklumi mengingat hampir seluruh proyek infrastruktur di China relatif tidak pernah menemui persoalan lahan.

"Berarti di sana kalau mau membangun jalan harus membeli lahan dulu kepada warga?" tanya salah seorang pegawai negeri sipil yang bertugas di wilayah selatan China.

Pertanyaan yang dia ajukan kepada Antara di Beijing beberapa waktu lalu sekaligus menjawab keraguannya mengenai mekanisme pengerjaan proyek kereta cepat di Indonesia.

Namun selain hal di atas, tersendatnya pencairan dana dari investor China juga menghambat perjalanan proyek tersebut.

China mempersyaratkan pencairan dana baru bisa dilakukan setelah 60 persen lahan yang akan digunakan untuk proyek tersebut sudah dibebaskan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di Beijing pada pertengahan bulan lalu juga telah menyatakan bahwa syarat tersebut sudah dipenuhi.

"Kalau pembebasan lahan sampai sekarang sudah mencapai 60 persen dan akan terus diupayakan peningkatannya. Target kita selesai 2020, lebih lambat sedikit lah daripada target awal," katanya di Beijing pada 14 April 2018.

Pada saat itu, Luhut pun memastikan bahwa kunjungan Perdana Menteri China Li Keqiang ke Indonesia pada 6-8 Mei 2018 salah satunya akan membawa persoalan itu.

Namun, pertemuan PM Li dan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Senin (7/5), tidak membicarakan kelangsungan proyek tersebut.

Menteri BUMN Rini Soemarno pun kepada wartawan di Jakarta menyatakan bahwa pertemuan Jokowi-Li tidak membicarakan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung karena sampai sekarang masih terus berjalan.

Dengan demikian, maka ada isyarat positif bagi kelangsung proyek tersebut, meskipun tidak dibahas dalam pertemuan bilateral Jokowi-Li.

Setidaknya kunjungan luar negeri Li untuk pertama kalinya sejak terpilih sebagai perdana menteri untuk periode lima tahun keduanya pada Maret lalu itu memberikan kepastian secara tersirat mengenai kelancaran pendanaan proyek ambisius bagi kedua negara besar di Asia itu.

Jika China, dengan segala kemudahan yang mereka miliki, membutuhkan waktu 13 tahun untuk mengembangkan kereta api cepat bahkan menjadi pemimpin teknologi moda transportasi tersebut, lantas bagaimana dengan Indonesia?