Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku kecewa terhadap terungkapnya korupsi yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan karena hal tersebut mencederai reformasi tata kelola dan upaya mewujudkan transparansi.

"Tertangkapnya YP telah membunyikan alarm yang sangat keras, bahwa yang dilakukan YP adalah nyata merupakan praktik makelar anggaran. Saya tekankan bahwa penangkapan YP sangat mengecewakan dan memprihatinkan kita semua," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.

Sri Mulyani mengatakan bahwa YP yang ditangkap oleh KPK adalah Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Negara.

Menkeu menjelaskan bahwa jabatan YP sebetulnya tidak ada hubungan dengan pengalokasian anggaran ke daerah.

Menanggapi kasus tersebut, Sri Mulyani menegaskan bahwa ia berusaha membersihkan Kementerian Keuangan dari praktik makelar anggaran.

"Banyak prosedur kami ubah menggunakan teknologi informasi, sehingga interaksi dan pertemuan antara kementerian lembaga, pemerintah daerah, atau instansi lain dalam pengurusan anggaran tidak perlu dilakukan perseorangan," kata dia.

Sri Mulyani mengaku telah mengintroduksi proses bisnis yang lebih terbuka dan transparan serta mengurangi interaksi dalam pengurusan keuangan negara.

"Namun ternyata masih ada oknum di Kemenkeu yang melihat adanya suatu kesempatan untuk menjadi makelar anggaran. Kami akan evaluasi dari sisi tata kelola, bisnis proses, dan tingkah laku pegawai di Kemenkeu," ucap dia.

Sri Mulyani juga menyatakan dukungan terhadap langkah KPK menindak upaya gratifikasi kepada penyelenggara negara.



Ditahan KPK

KPK telah menahan empat tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap pembahasan Dana Perimbangan Keuangan Daerah pada Rancangan APBN-Perubahan 2018.

Keempat tersangka yaitu anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Amin Santono, pihak swasta sekaligus perantara Eka Kamaluddin, Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Yaya Purnomo, dan pemberi suap Ahmad Ghiast.

KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada keempatnya pada Jumat (4/5) malam di Jakarta dan Bekasi.

Amin diduga menerima Rp400 juta sedangkan Eka menerima Rp100 juta yang merupakan bagian dari "commitment fee" sebesar Rp1,7 miliar atau 7 persen dari nilai dua proyek di Kabupaten Sumedang dengan total Rp25 miliar.

Pasal yang disangkakan kepada Amin, Eka dan Yaya adalah pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan Ahmad disangkakan pasal pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1 jo KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Baca juga: Kemenkeu dukung KPK ungkap pegawainya yang terjaring OTT