BMKG: jumlah kosentrasi GRK Indonesia mendekati 400 ppm
1 Mei 2018 23:47 WIB
Dokumentasi Gabungan dari sejumlah LSM lingkungan melakukan aksi di depan Kedubes Australia, Jakarta Selatan, Kamis (29/11/2012). Mereka menyatakan kekecewaannya terhadap solusi palsu dari negara-negara industri untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga melanggengkan bencana sebagai efek dari perubahan iklim. (FOTO ANTARA/Fanny Octavianus)
Palupuah, Agam (ANTARA News) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, mencatat konsentrasi gas rumah kaca sudah mendekati angka 400 ppm.
"Itu adalah kondisi pengukuran terakhir pada Maret 2018," kata Kepala Seksi Observasi BMKG Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Budi Satria di Palupuah, Agam, Selasa.
Ia menerangkan angka itu mewakili kondisi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia karena hanya stasiun tersebut yang rutin melakukan sampling gas rumah kaca untuk dikirim lalu diteliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) di Amerika Serikat.
Angka 400 ppm berarti jumlah partikel yang terukur dalam satu juta partikel udara terdapat 400 gas karbon.
Kondisi itu sudah menjadi perhatian para peneliti. Pada masa praindustri konsentrasi gas rumah kaca berada di angka 280 ppm.
Gas rumah kaca tersebut pengaruhnya pada peningkatan suhu bumi yang nantinya juga akan berpengaruh pada kelangsungan makhluk hidup.
Jika tanpa upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, peneliti memprediksi pada tahun 2100 angka tersebut menjadi 900 ppm, artinya dalam keadaan itu hutan-hutan hilang.
"Pada kondisi itu suhu meningkat dua derajat celcius sejak praindustri. Sampai sekarang saja suhu sudah meningkat 0,8 derajat celcius. Sudah cukup panas bukan?" ujarnya.
Angka gas rumah kaca yang terukur di Bukit Kototabang dan mewakili kondisi Indonesia tersebut masih di bawah angka global yang sudah di atas 400 ppm.
Meski demikian, menurut dia, sudah harus dilakukan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca misalnya lewat penghijauan dan menghindari aktivitas membakar lahan.
"Itu adalah kondisi pengukuran terakhir pada Maret 2018," kata Kepala Seksi Observasi BMKG Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Bukit Kototabang, Budi Satria di Palupuah, Agam, Selasa.
Ia menerangkan angka itu mewakili kondisi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia karena hanya stasiun tersebut yang rutin melakukan sampling gas rumah kaca untuk dikirim lalu diteliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) di Amerika Serikat.
Angka 400 ppm berarti jumlah partikel yang terukur dalam satu juta partikel udara terdapat 400 gas karbon.
Kondisi itu sudah menjadi perhatian para peneliti. Pada masa praindustri konsentrasi gas rumah kaca berada di angka 280 ppm.
Gas rumah kaca tersebut pengaruhnya pada peningkatan suhu bumi yang nantinya juga akan berpengaruh pada kelangsungan makhluk hidup.
Jika tanpa upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, peneliti memprediksi pada tahun 2100 angka tersebut menjadi 900 ppm, artinya dalam keadaan itu hutan-hutan hilang.
"Pada kondisi itu suhu meningkat dua derajat celcius sejak praindustri. Sampai sekarang saja suhu sudah meningkat 0,8 derajat celcius. Sudah cukup panas bukan?" ujarnya.
Angka gas rumah kaca yang terukur di Bukit Kototabang dan mewakili kondisi Indonesia tersebut masih di bawah angka global yang sudah di atas 400 ppm.
Meski demikian, menurut dia, sudah harus dilakukan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca misalnya lewat penghijauan dan menghindari aktivitas membakar lahan.
Pewarta: Irfan Taufik
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: