Jakarta (ANTARA News) - Meski tahap pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden baru akan dibuka pada 4-10 Agustus 2018, nama-nama sejumlah tokoh nasional sudah mencuat beberapa bulan terakhir.

Sejumlah lembaga survei juga sudah menyampaikan hasil surveinya. Bahkan tidak hanya sekali, tetapi juga seperti rutin menyampaikan survei secara periodik.

Dalam beberapa bulan mendatang, diperkirakan semakin rutin lembaga-lembaga itu melakukan surveinya. Kemudian mengumumkan kepada publik untuk tujuan politik atau bisnis.

Umumnya survei dilakukan pada elektabilitas tokoh tertentu maupun partai politik. Dari survei ini tergambar perkiraan tokoh-tokoh dan partai politik yang bakal mewarnai pemiligan presiden mendatang dan pemilu legislatif pada 2019.

Tumbuhnya lembaga-lembaga survei juga turut mewarnai perkembangan situasi menjelang pemilihan umum di era reformasi serta pemilihan presiden dan wakil presiden. Bahkan dalam pilkada langsung, lembaga survei juga muncul dengan tendensi politik atau bisnis.

Khusus survei untuk pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang khususnya menyangkut figur tampaknya paling mendapat perhatian publik. Angka-angka hasil survei menjadi diskusi yang kadang hangat di sebagian orang, walaupun sebagian lainnya tidak memberi perhatian.

Nama Presiden Joko Widodo terlihat mendominasi elektabilitas dibanding sejumlah tokoh lainnya. Setidaknya itu kesimpulan sementara dari berbagai survei sampai akhir April 2018.

Namun satu hal yang perlu dicermati dari hasil-hasil survei yang telah diumumkan, yakni belum tergambarnya elektabilitas tokoh dari kalangan perempuan. Memang ada hasil survei yang memunculkan ada dari kalangan perempuan tetapi elektabilitasnya belum terlalu signifikan.

Pertanyaannya adalah mengapa dan tidak adakah peluang bagi perempuan untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden?

Jawaban bisa beragam dan tergantung pada kinerja perempuan di posisi jabatan publik. Kalau kinerjanya bagus pasti publik pun menilai bagus sehingga meraih popularitas lebih signifikan.

Kalau bicara aturan maka sudah sangat jelas bahwa aturan soal demokrasi tidak mengenal laki-laki dan perempuan. Bahkan di birokrasi sekalipun.

Secara lebih nyata kepengurusan partai politik juga mengharuskan adanya afirmasi kepada perempuan. Namun sebelum vetifikasi partai politik peserta Pemilu 2019 beberapa partai mengaku kesulitan merekrut perempuan sebagai pengurus.

Kini kesempatan terbuka bagi perempuan untuk menjadi bakal calon anggota legislatif Pemilu 2019. Persoalanya mau dan mampu atau tidaknya perempuan memanfaatkan peluang itu.

Bagaimana dengan pemimpin pemerintahan?

Mengacu pada konstitusi UUD Negara Kesatuan RI 1945 setiap warga negara berhak mencalonkan dan dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden. Pencalonannya melalui partai politik atau gabungan partai politik.

Tiada larangan
Dari aturan di konstitusi ini, secara tegas tidak ada larangan bagi perempuan untuk mencalonkan dan dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden. Asalkan memenuhi syarat, salah satunya dicalonkan arau mencalonkan melalui partai politik.

Dari segi potensi keterpilihan atau elektabilitas sebenarnya bisa imbang dengan politisi laki-laki. Sekalilagi kalsu bicara potensi elektabilitas.

Elektabilitas bisa dibangun melalui kinerjanya di posisinya saat ini, keberhasilan menyosialisasikan gagasan atau Ide-idenya serta kemampuan membangun jaringan. Memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak ada peluang.

Kalau dikatakan dari sisi aturan peluang laki-laki dan perempuan seimbang dan sama dalam meraih jabatan publik, seperti presiden dan wakil presiden juga didukung realitas bahwa jumlah pemilih laki-laki dan perempuan tidak terpaut jauh. Sekarang tergantung perempuan politisi atau pejabat publik untuk menyikapinya.

Untuk Pemilu 2019, jumlah daftar oemilih tetap (DPT) belum ada. Bahkan daftar pemilih sementara (DPS) pun masih dalam proses pendataan dan belum memasuki tahap untuk diumumkan.

Tapi sebagai acuan atau referensi bisa disimak data pemilih pada pemilu dan pilpres sebelumnya. Dengan demikian ada untuk menimbang-nimbang peluang dan kesempatan.

DPT Pilpres 2014 dalam negeri imenyebutkan terdapat laki-laki 94.301.112, perempuan 93.967.311, jumlah total 188.268.423. Sedangkan untuk DPT dari luar negeri tercatat pemilih laki-laki sebanyak 919.687, sedangkan perempuan 1.119.024 srhingga total pemilih dalam DPT luar negeri 2.038.711.

DPT dalam Pilpres 2014 sebanyak 190.307.134 orang yang terdiri atas pemilih laki-laki 95.220.779. Sedangkan pemilih perempuan sebanyak 95.086.335 orang.

Persoalannya adakah perempun politisi yang akan maju sebagai capres dan cawapres dalam pemilihan mendatang, waktu yang akan mencatat. Yang jelas aturan dan peluang itu ada.

Presiden Joko Widodo dalam peresmian jaring apung di Pangandaran,

Jawa Barat pekan lalu, mengatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mau mencalonkan menjadi presiden. Pernyataan itu seolah membuka wacana mengenai capres dan cawapres perempuan.

Perempuan lainnya juga berpeluang meramaikan wacana capres dan cawapres, seperti Menkeu Sri Mulyani. Begitu juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang sedang menggencarkan program perhutanan sosial. Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani berpeluang pula bila PDIP ingin mencalonkan kader internal sebagai cawapres untuk mendampingi Jokowi.

Kini masih dalam suasana Hari Kartini, membicarakan kans perempuan untuk posisi capres dan cawapres tampak aktual dan menemukan momentumnya. Publik masih akan melihat siapa-siapa yang akan dicalonkan pada tahap pendaftaran di KPU pada 4-10 Agustus 2018.

Baca juga: Stigma pemilih kerap buat keterwakilan perempuan tak maksimal
Baca juga: Indonesia tertinggal bila perempuan ditinggal