Singapura (ANTARA News) - Pemimpin negara Asia Tenggara akan membahas perang, kekacauan di Myanmar dan ketegangan di kawasan sengketa Laut China Selatan pada akhir pekan ini di Singapura.

Namun, banyak pihak meragukan akan kemajuan berarti terkait penyelesaian berbagai persoalan itu.

Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang dibentuk lebih dari lima dasawarsa lalu, dalam sejarahnya selalu sulit menyelesaikan persoalan kawasan karena menganut cara mufakat dan asas tidak campur tangan.

Konferensi tingkat tinggi pada tahun ini akan digelar di Singapura, negara terkecil di Asia Tenggara, yang hanya berpenghuni 5,6 juta orang, namun menjadi yang tersejahtera.

Saat ditanya mengapa ASEAN selalu lama mengambil tindakan terkait tantangan kawasan, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan, "Kami hanya bisa melakukan sesuatu jika tercapai mufakat. Kami harus melakukannya karena tidak ada kelompok kawasan lain punya keberagaman seperti kami."

"Namun, saat ASEAN berhasil memutuskan sesuatu, kami bisa menjalankannya dengan efektif karena ada konsensus," kata dia.

Sementara itu, surat kabar terbesar di Singapura, "The Straits Times", mengatakan pada tahun lalu bahwa lima pendiri ASEAN sering melakukan pendekatan yang berbeda.

Filipina selalu menuntut basis legal bagi segala hal, sementara Singapura cenderung bertanya "apa untungnya bagi kami?", kata "Strait Times".

"Malaysia selalu merujuk kembali pada pemerintahannya, Thailand lebih suka pada komite, sementara Indonesia ingin semua hal sesuai dengan filosofi Pancasila," kata koran itu.

Keadaan di negara bagian Rakhine, Myanmar, tempat ratusan ribu warga kelompok kecil Muslim Rohingya harus mengungsi ke Bangladesh seusai operasi militer di sana, kini menjadi tantangan utama bagi ASEAN.

PBB menyebut ada banyak bukti bermunculan terkait genosida di sana.

"Apa yang Anda saksikan saat ini adalah sebuah tragedi kemanusiaan," kata Balakrishnan.

Dia mengatakan bahwa fokus ASEAN adalah menghentikan kekerasan dan mendistribusikan bantuan. Namun dia menambahkan bahwa "tanggung jawab politik berada di tangan pemerintah Myanmar Mereka harus mencari solusi politik".

Di sisi lain, ASEAN juga berharap bisa segera menyelesaikan perundingan "code of conduct" (COC) dengan Beijing untuk menyelesaikan sengketa wilayah Laut China Selatan, sebuah jalur perdagangan internasional tersibuk di dunia.

Balakrishnan mengatakan bahwa ASEAN sudah mengerjakan banyak hal dalam beberapa bulan terakhir, meski belum bisa menylesaikannya.

Singapura sebelumnya mengaku perjanjian COC tidak akan bisa tercapai dalam satu tahun, setelah dimulai pada akhir tahun lalu. Sejumlah pengamat mengatakan bahwa COC, yang tidak akan mengikat, hanya akan menjadi langkah kecil mengingat COC tidak akan memaksa China untuk mundur.

China mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan dan telah membangun sejumlah pulau buatan dan instalasi militer di atasnya. Selain Beijing, negara lain yang punya klaim terhadap wilayah yang sama adalah Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Fili;ina.

"Apakah masalah wilayah itu akan selesai? Tentu saja tidak. Akan butuh bertahun-tahun, jika bukan beberapa generasi," kata Balakrishnan dilansir Reuters.

(Uu.G005/B002)