Yogyakarta (ANTARA News) - Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mengungkap jaringan pengedar trihexypenidyl atau populer disebut pil trihex yang beroperasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Wakil Direktur Ditresnarkoba (Wadirresnarkoba) Polda DIY, AKBP Baron Wuryanto, saat jumpa pers di Mapolda DIY, Jumat, mengatakan hingga April 2018 petugas kepolisian berhasil meringkus 14 tersangka yang tergabung dalam jaringan pengedar pil trihex yang juga disebut pil sapi tersebut.

"Masih ada satu tersangka berinisial X yang hingga saat ini masih buron," kata kata Baron.

Menurut dia, pengungkapan jaringan pengedar pil trihex itu berawal dari penangkapan tersangka FH, warga Pacitan Jawa Timur selaku bandar pil sapi dengan barang bukti 445.000 butir pil trihex yang dirilis pada 16 Maret 2018.

Setelah dilakukan pengembangan, pada 28 Maret 2018 petugas kepolisian kembali menangkap AS yang ternyata merupakan pemilik dari 445.000 butir pil trihex.

"Dari 445.000 butir ini kemudian masih dipecah ke pengecer-pengecer kecil," kata dia.

Menurut dia, peredaran pil kategori obat keras tersebut dilakukan dengan berbagai modus mulai dari penjualan melalui pengiriman paket hingga bertemu langsung dengan konsumen.

Baron mengatakan pil trihex tersebut dijual oleh para pengedar dengan harga yang terus berlipat dari penjual di atasnya. Pada posisi pengedar paling bawah menjual pil tersebut dengan harga Rp1,8 juta per botol, di mana setiap botol berisi 1.000 butir.

Selanjutnya, setelah dilakukan penelusuran ke daerah lain polisi menangkap BRH warga Sragen, Jawa Tengah, yang merupakan pemasok untuk AS. Dalam pengembangan itu petugas juga berhasil menangkap tersangka lainnya yakni D, BR, SPY, SWD, AL, SHS, SRN, dan MR.

Tersangka D selain menjadi pengantar barang dari BRH juga menjual sendiri kepada AS. "Bahkan D bisa meraup keuntungan Rp15 juta hingga Rp20 juta untuk sekali pengiriman," kata Kepala Bidang Humas Polda DIY AKBP Yulianto.

Dengan keuntungan besar yang dapat diperoleh para pengedar pil trihex itu, Yulianto menduga peredaran obat-obat keras di Yogyakarta bukan hanya dilakukan satu jaringan.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 62 UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika serta Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat 1 UU No 36/2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling tinggi Rp1 miliar.