KPK berikan jawaban praperadilan Ahmad Hidayat Mus
18 April 2018 20:05 WIB
Dokumentasi kampanye pasangan calon Gubernur Maluku Utara (Malut) Ahmad Hidayat Mus dan Rivai Umar yang diusung Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2018. (ANTARA Maluku Utara)
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban atas permohonan praperadilan yang diajukan calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu.
Pokok gugatan praperadilan yang disampaikan pemohon (Ahmad Hidayat Mus), yaitu pertama tindakan termohon (KPK) tidak sah atau tanpa melalui proses hukum penyidikan.
"Penetapan pemohon sebagai tersangka adalah sah. Diawali dari adanya laporan pengaduan masyarakat dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat perintah penyelidikan tanggal 11 September 2017," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.
Febri menyatakan bahwa pada tahap penyelidikan tersebut, termohon telah memintai keterangan kepada 21 orang.
Selain itu, kata dia, termohon juga telah mengundang pemohon sebanyak tiga kali namun pemohon tidak memenuhi undangan KPK sekali pun.
"Dari proses penyelidikan tersebut, termohon telah memperoleh bukti permulaan berupa dokumen-dokumen, termasuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK," tuturnya.
Berdasarkan bukti permulaan yang cukup tersebut, kata dia, selanjutnya termohon meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan pemohon selaku Bupati Kepulauan Sula bersama-sama dengan Zainal Mus sebagai tersangka.
Kedua, terkait penetapan tersangka tidak berdasarkan dua alat bukti sah yang diperoleh saat penyidikan.
"Bahwa dalil yang disampaikan pemohon keliru, tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum. Bahwa Pasal 44 Undang-Undang KPK sebagai dasar dari termohon untuk menemukan bukti permulaan yang cukup dan sebagai dasar termohon meningkatkan suatu dugaan perkara tindak pidana korupsi ke tahap penyidikan," ucap Febri.
Menurut Febri, bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU KPK.
Ketiga, soal penggunanan bukti hukum dalam perkara a quo adalah "ne bis in idem".
"Dalil-dalil pemohon tersebut di atas adalah tidak benar dan tidak berdasar hukum, Perkara Praperadilan Nomor: 3/Pid.Pra/2017/PN.Tte yang diajukan oleh pemohon tidaklah dapat dikatakan "ne bis in idem" termasuk juga terhadap bukti-bukti yang digunakan dalam perkara yang ditangani oleh pemohon," ujarnya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata, Febri menyatakan bahwa perkara a quo yang diajukan oleh pemohon bukan lah "ne bis in idem" karena putusan praperadilan hanya memutus apakah secara formil proses yang dilakukan oleh penyidik sudah tepat atau belum dan perkara praperadilan belum memutus tentang pokok perkara.
Terakhir permohonan pemohon bahwa pokok perkara sudah pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ternate dan sudah "inkracht".
"Bahwa dalil-dalil pemohon adalah tidak benar dan tidak berdasar hukum karena perkara pokok yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ternate bukan lah atas nama Pemohon, melainkan atas nama Ema Sabar, Majestisa, dan Hidayat Nahumarury yang merupakan bawahan dari pemohon," ungkap Febri.
Sebelumnya, KPK pada Jumat (16/3) telah mengumumkan Ahmad Hidayat Mus yang juga Bupati Kepulauan Sula 2005-2010 bersama adiknya Zainal Mus sebagai tersangka tindak pidana korupsi kasus pengadaan pembebasan lahan Bandara Bobong pada APBD Kabupaten Kepulauan Sula Tahun Anggaran 2009.
Tersangka Ahmad Hidayat Mus selaku Bupati Kepulauan Sula 2005-2010 bersama-sama dengan Zainal Mus selaku Ketua DPRD Kepulauan Sula 2009-2014 diduga telah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Terkait pengadaan pembebasan lahan di Bandara Bobong pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 di Kabupaten Kepulauan Sula.
Ahmad Hidayat Mus dan Zainal Mus disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dugaan kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan dan koordinasi dengan BPK adalah sebesar Rp3,4 miliar sesuai jumlah pencairan SP2D kas daerah Kabupaten Kepulauan Sula.
Untuk diketahui, Ahmad Hidayat Mus merupakan calon Gubernur Maluku Utara dalam Pilkada 2018 berpasangan dengan Rivai Umar.
Pasangan tersebut diusung oleh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pokok gugatan praperadilan yang disampaikan pemohon (Ahmad Hidayat Mus), yaitu pertama tindakan termohon (KPK) tidak sah atau tanpa melalui proses hukum penyidikan.
"Penetapan pemohon sebagai tersangka adalah sah. Diawali dari adanya laporan pengaduan masyarakat dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat perintah penyelidikan tanggal 11 September 2017," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.
Febri menyatakan bahwa pada tahap penyelidikan tersebut, termohon telah memintai keterangan kepada 21 orang.
Selain itu, kata dia, termohon juga telah mengundang pemohon sebanyak tiga kali namun pemohon tidak memenuhi undangan KPK sekali pun.
"Dari proses penyelidikan tersebut, termohon telah memperoleh bukti permulaan berupa dokumen-dokumen, termasuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK," tuturnya.
Berdasarkan bukti permulaan yang cukup tersebut, kata dia, selanjutnya termohon meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan pemohon selaku Bupati Kepulauan Sula bersama-sama dengan Zainal Mus sebagai tersangka.
Kedua, terkait penetapan tersangka tidak berdasarkan dua alat bukti sah yang diperoleh saat penyidikan.
"Bahwa dalil yang disampaikan pemohon keliru, tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum. Bahwa Pasal 44 Undang-Undang KPK sebagai dasar dari termohon untuk menemukan bukti permulaan yang cukup dan sebagai dasar termohon meningkatkan suatu dugaan perkara tindak pidana korupsi ke tahap penyidikan," ucap Febri.
Menurut Febri, bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU KPK.
Ketiga, soal penggunanan bukti hukum dalam perkara a quo adalah "ne bis in idem".
"Dalil-dalil pemohon tersebut di atas adalah tidak benar dan tidak berdasar hukum, Perkara Praperadilan Nomor: 3/Pid.Pra/2017/PN.Tte yang diajukan oleh pemohon tidaklah dapat dikatakan "ne bis in idem" termasuk juga terhadap bukti-bukti yang digunakan dalam perkara yang ditangani oleh pemohon," ujarnya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata, Febri menyatakan bahwa perkara a quo yang diajukan oleh pemohon bukan lah "ne bis in idem" karena putusan praperadilan hanya memutus apakah secara formil proses yang dilakukan oleh penyidik sudah tepat atau belum dan perkara praperadilan belum memutus tentang pokok perkara.
Terakhir permohonan pemohon bahwa pokok perkara sudah pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ternate dan sudah "inkracht".
"Bahwa dalil-dalil pemohon adalah tidak benar dan tidak berdasar hukum karena perkara pokok yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ternate bukan lah atas nama Pemohon, melainkan atas nama Ema Sabar, Majestisa, dan Hidayat Nahumarury yang merupakan bawahan dari pemohon," ungkap Febri.
Sebelumnya, KPK pada Jumat (16/3) telah mengumumkan Ahmad Hidayat Mus yang juga Bupati Kepulauan Sula 2005-2010 bersama adiknya Zainal Mus sebagai tersangka tindak pidana korupsi kasus pengadaan pembebasan lahan Bandara Bobong pada APBD Kabupaten Kepulauan Sula Tahun Anggaran 2009.
Tersangka Ahmad Hidayat Mus selaku Bupati Kepulauan Sula 2005-2010 bersama-sama dengan Zainal Mus selaku Ketua DPRD Kepulauan Sula 2009-2014 diduga telah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Terkait pengadaan pembebasan lahan di Bandara Bobong pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 di Kabupaten Kepulauan Sula.
Ahmad Hidayat Mus dan Zainal Mus disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dugaan kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan dan koordinasi dengan BPK adalah sebesar Rp3,4 miliar sesuai jumlah pencairan SP2D kas daerah Kabupaten Kepulauan Sula.
Untuk diketahui, Ahmad Hidayat Mus merupakan calon Gubernur Maluku Utara dalam Pilkada 2018 berpasangan dengan Rivai Umar.
Pasangan tersebut diusung oleh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018
Tags: