PBB: swasembada beras bukan solusi ketahanan pangan
18 April 2018 15:08 WIB
Ilustrasi - Petani merawat tanaman padinya di persawahan di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (16/4/2018). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Jakarta (ANTARA News) - Pelapor Khusus Dewan HAM PBB untuk Hak atas Pangan Hilal Elver mengatakan bahwa kebijakan pangan Indonesia yang berfokus pada swasembada beras saat ini tidak akan memberikan solusi jangka panjang bagi ketahanan pangan dan gizi, serta praktik pertanian berkelanjutan.
Diversifikasi kebijakan produksi makanan pokok diperlukan karena tidak semua penduduk ingin menjadikan beras sebagai makanan utama mereka.
"Di beberapa tempat yang kami kunjungi, masyarakatnya tidak selalu menerima beras sebagai bahan pokok. Di wilayah Indonesia Timur misalnya, masyarakatnya lebih memilih sagu sebagai makanan pokok," tutur Hilal dalam konferensi pers di kantor UNDP, Jakarta, Rabu.
Ketersediaan makanan, menurut dia, harus memenuhi kebutuhan pola makan serta peka terhadap tradisi dan nilai-nilai budaya yang bertumpu pada penerimaan relatif berbagai makanan.
Meskipun pemerintah telah menanggapi kebutuhan populasi terhadap pangan dengan mempromosikan pertanian dan menyediakan subsidi, Hilal menilai kebijakan dan praktik resmi tidak selalu peka terhadap sikap budaya yang berkaitan dengan makanan sehingga menyebabkan beberapa wilayah tidak puas.
Kebijakan yang dikembangkan untuk mengurangi kerawanan pangan dinilainya masih terlalu terfokus pada beras seperti di Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke.
Makanan, ia menegaskan, bukan hanya kuantitas yang akan mencegah orang menjadi lapar.
"Terutama untuk orang Indonesia yang memiliki beragam latas belakang budaya, makanan menginformasikan identitas dan jati diri mereka," tutur Hilal.
Dalam hal ini, pemerintah harus melakukan upaya maksimal untuk mempertimbangkan penerimaan budaya pangan.
Tantangan lain yang dihadapi pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah aksesibilitas.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan, kata Hilal, harga pangan di Indonesia lebih mahal karena faktor transportasi.
"Rantai distribusi makanan dari petani sampai bisa disajikan di meja makan ini harus dikurangi untuk mengurangi harga pangan," kata perempuan asal Turki itu.
Hilal Elver melakukan kunjungan resmi ke Indonesia sejak 9 April lalu untuk menilai bagaimana rakyat Indonesia menikmati hak atas pangan, juga memberikan rekomendasi praktik kebijakan atas tantangan yang dihadapi saat ini.
Selama 10 hari di Indonesia, ia berkunjung ke Yogyakarta, Palembang, dan Ambon untuk mempelajari praktik-praktik dan isu khusus yang berkaitan dengan perbedaan wilayah. Hilal juga berdialog dengan perwakilan pemerintah di antaranya Menteri Pertanian Amran Sulaiman serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta anggota masyarakat sipil.
Hasil penilaiannya akan disusun dalam sebuah laporan yang akan disampaikan dalam Sidang Dewan HAM PBB, Juni 2019.
Diversifikasi kebijakan produksi makanan pokok diperlukan karena tidak semua penduduk ingin menjadikan beras sebagai makanan utama mereka.
"Di beberapa tempat yang kami kunjungi, masyarakatnya tidak selalu menerima beras sebagai bahan pokok. Di wilayah Indonesia Timur misalnya, masyarakatnya lebih memilih sagu sebagai makanan pokok," tutur Hilal dalam konferensi pers di kantor UNDP, Jakarta, Rabu.
Ketersediaan makanan, menurut dia, harus memenuhi kebutuhan pola makan serta peka terhadap tradisi dan nilai-nilai budaya yang bertumpu pada penerimaan relatif berbagai makanan.
Meskipun pemerintah telah menanggapi kebutuhan populasi terhadap pangan dengan mempromosikan pertanian dan menyediakan subsidi, Hilal menilai kebijakan dan praktik resmi tidak selalu peka terhadap sikap budaya yang berkaitan dengan makanan sehingga menyebabkan beberapa wilayah tidak puas.
Kebijakan yang dikembangkan untuk mengurangi kerawanan pangan dinilainya masih terlalu terfokus pada beras seperti di Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke.
Makanan, ia menegaskan, bukan hanya kuantitas yang akan mencegah orang menjadi lapar.
"Terutama untuk orang Indonesia yang memiliki beragam latas belakang budaya, makanan menginformasikan identitas dan jati diri mereka," tutur Hilal.
Dalam hal ini, pemerintah harus melakukan upaya maksimal untuk mempertimbangkan penerimaan budaya pangan.
Tantangan lain yang dihadapi pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah aksesibilitas.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan, kata Hilal, harga pangan di Indonesia lebih mahal karena faktor transportasi.
"Rantai distribusi makanan dari petani sampai bisa disajikan di meja makan ini harus dikurangi untuk mengurangi harga pangan," kata perempuan asal Turki itu.
Hilal Elver melakukan kunjungan resmi ke Indonesia sejak 9 April lalu untuk menilai bagaimana rakyat Indonesia menikmati hak atas pangan, juga memberikan rekomendasi praktik kebijakan atas tantangan yang dihadapi saat ini.
Selama 10 hari di Indonesia, ia berkunjung ke Yogyakarta, Palembang, dan Ambon untuk mempelajari praktik-praktik dan isu khusus yang berkaitan dengan perbedaan wilayah. Hilal juga berdialog dengan perwakilan pemerintah di antaranya Menteri Pertanian Amran Sulaiman serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta anggota masyarakat sipil.
Hasil penilaiannya akan disusun dalam sebuah laporan yang akan disampaikan dalam Sidang Dewan HAM PBB, Juni 2019.
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: