KPK segera limpahkan Syafruddin Temenggung ke penuntutan
18 April 2018 00:59 WIB
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (kiri) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (13/4/2018). Syafruddin diperiksa sebagai tersangka dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). (ANTARA /Dhemas Reviyanto)
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginformasikan bahwa perkara Syafruddin Arsyad Temenggung, tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), akan dilimpahkan ke penuntutan dalam waktu dekat.
"Kasus BLBI dengan satu tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung itu masih proses dalam penyidikan. Dalam waktu dekat kami akan pelimpahan ke penuntutan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Oleh karena itu, kata Febri, dalam waktu dekat tersebut penyidik akan menyerahkan berkas dan tersangka Syafruddin ke tahap penuntutan.
"itu artinya tidak terlalu lama akan dibawa ke persidangan, nanti perlu diuji lebih lanjut," ucap Febri.
Febri mengungkapkan bahwa ada 69 saksi sampai saat ini yang telah diperiksa dalam proses penyidikan untuk tersangka Syafruddin dari berbagai unsur.
"Ada dari pihak swasta yang cukup banyak lebih dari 30 orang kemudian ada pejabat dan juga pegawai dari PT Gajah Tunggal yang kami periksa, ada dari KKSK, notaris, pengacara, dan unsur lain yang kami periksa untuk membuat terang perkara ini," tuturnya.
Sementara itu terkait pemanggilan kembali terhadap bos PT Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim yang saat ini masih berada di Singapura, KPK mengharapkan ada itikad baik dari keduanya.
"Sebenarnya kalau memang ada itikad baik dan ingin melakukan klarifikasi misalnya terkait fakta-fakta yang ada terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) tersebut justru akan lebih baik jika Sjamsul dan istri kemudian datang ke Indonesia dan memberikan sejumlah klarifikasi," ujarnya.
Menurut Febri, KPK sebenarnya cukup dibantu oleh otoritas di Singapura untuk menyampaikan surat pemanggilan terhadap dua orang itu untuk diperiksa sebagai saksi.
"Kami sampaikan surat pemanggilan tersebut sampai ke domisili atau tempat tingal dari saksi. Memang yang jadi persoalan adalah karena yang bersangkutan sedang berada di luar negeri. Jadi, ada batas-batas kewenangan KPK juga sehingga sampai saat ini saksi belum bisa hadir ke KPK," kata Febri.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan pihaknya fokus untuk membuktikan kesalahan tersangka Syafruddin yang telah memperkaya Sjamsul Nursalim selaku obligor BDNI.
"Sudah pasti (akan dipulangkan) kalau kami bisa buktikan peran (Sjamsul Nursalim) seperti apa (pada perkara ini)," katanya.
KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017.
Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.
KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri atas Rp1,1 triliun yang dinilai "sustainable" dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.
Baca juga: Dorodjatun enggan jelaskan pemeriksaan kasus BLBI
"Kasus BLBI dengan satu tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung itu masih proses dalam penyidikan. Dalam waktu dekat kami akan pelimpahan ke penuntutan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Oleh karena itu, kata Febri, dalam waktu dekat tersebut penyidik akan menyerahkan berkas dan tersangka Syafruddin ke tahap penuntutan.
"itu artinya tidak terlalu lama akan dibawa ke persidangan, nanti perlu diuji lebih lanjut," ucap Febri.
Febri mengungkapkan bahwa ada 69 saksi sampai saat ini yang telah diperiksa dalam proses penyidikan untuk tersangka Syafruddin dari berbagai unsur.
"Ada dari pihak swasta yang cukup banyak lebih dari 30 orang kemudian ada pejabat dan juga pegawai dari PT Gajah Tunggal yang kami periksa, ada dari KKSK, notaris, pengacara, dan unsur lain yang kami periksa untuk membuat terang perkara ini," tuturnya.
Sementara itu terkait pemanggilan kembali terhadap bos PT Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim yang saat ini masih berada di Singapura, KPK mengharapkan ada itikad baik dari keduanya.
"Sebenarnya kalau memang ada itikad baik dan ingin melakukan klarifikasi misalnya terkait fakta-fakta yang ada terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) tersebut justru akan lebih baik jika Sjamsul dan istri kemudian datang ke Indonesia dan memberikan sejumlah klarifikasi," ujarnya.
Menurut Febri, KPK sebenarnya cukup dibantu oleh otoritas di Singapura untuk menyampaikan surat pemanggilan terhadap dua orang itu untuk diperiksa sebagai saksi.
"Kami sampaikan surat pemanggilan tersebut sampai ke domisili atau tempat tingal dari saksi. Memang yang jadi persoalan adalah karena yang bersangkutan sedang berada di luar negeri. Jadi, ada batas-batas kewenangan KPK juga sehingga sampai saat ini saksi belum bisa hadir ke KPK," kata Febri.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan pihaknya fokus untuk membuktikan kesalahan tersangka Syafruddin yang telah memperkaya Sjamsul Nursalim selaku obligor BDNI.
"Sudah pasti (akan dipulangkan) kalau kami bisa buktikan peran (Sjamsul Nursalim) seperti apa (pada perkara ini)," katanya.
KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017.
Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.
KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri atas Rp1,1 triliun yang dinilai "sustainable" dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.
Baca juga: Dorodjatun enggan jelaskan pemeriksaan kasus BLBI
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018
Tags: