DPR absen lagi pada uji materi UU BUMN pintu swastanisasi
9 April 2018 20:53 WIB
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) bersama Hakim MK I Dewa Gede Palguna (kanan) dan Maria Farida Indrati (kiri) memimpin sidang pengujian UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di gedung MK, Jakarta, Selasa (3/4/2018). Sidang yang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR tersebut ditunda. (ANTARA /Dhemas Reviyanto)
Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali tidak menghadiri sidang uji materi ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN yang dimohonkan pegawai PT. PLN (Persero) dalam kaitannya dengan privatisasi BUMN.
"DPR berhalangan hadir pada kesempatan ini," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Aswanto di Jakarta, Senin.
Aswanto menjelaskan DPR sudah menyerahkan surat kepada Mahkamah pada 7 April bahwa mereka tidak bisa hadir karena sidang bertepatan dengan rapat-rapat yang tidak bisa mereka tinggalkan.
Agenda sidang keempat untuk uji materi dalam perkara ini adalah mendengarkan keterangan DPR, ahli yang dihadirkan pemohon, dan pemerintah.
Dalam sidang pendahuluan para pemohon dari pegawai BUMN PT. PLN (Persero) mendalilkan bila PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas adalah salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali.
Menurut pemohon, BUMN yang produksinya menyangkut orang banyak akan diprivatisasi seperti yang tertuang dalam PP Nomor 39 Tahun 2014 tentang "daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal".
Pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki saham hingga 95-100 persen sehingga menghilangkan fungsi negara untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi Negara yang menyangkut hidup orang banyak.
Pemohon beranggapan, adanya Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR.
"DPR berhalangan hadir pada kesempatan ini," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Aswanto di Jakarta, Senin.
Aswanto menjelaskan DPR sudah menyerahkan surat kepada Mahkamah pada 7 April bahwa mereka tidak bisa hadir karena sidang bertepatan dengan rapat-rapat yang tidak bisa mereka tinggalkan.
Agenda sidang keempat untuk uji materi dalam perkara ini adalah mendengarkan keterangan DPR, ahli yang dihadirkan pemohon, dan pemerintah.
Dalam sidang pendahuluan para pemohon dari pegawai BUMN PT. PLN (Persero) mendalilkan bila PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas adalah salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali.
Menurut pemohon, BUMN yang produksinya menyangkut orang banyak akan diprivatisasi seperti yang tertuang dalam PP Nomor 39 Tahun 2014 tentang "daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal".
Pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki saham hingga 95-100 persen sehingga menghilangkan fungsi negara untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi Negara yang menyangkut hidup orang banyak.
Pemohon beranggapan, adanya Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018
Tags: