Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR dari unsur Partai Bintang Reformasi (PBR), Zaenal Maarif, Kamis, menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait proses "recall" yang dihadapinya setelah PBR memecatnya sebagai anggota DPR. Zaenal di Gedung DPR/MPR Jakarta mengemukakan penggusuran dirinya dari keanggotaan DPR dan dari posisinya sebagai Wakil Ketua DPR merupakan pemaksaan. Apalagi konflik internal PBR yang bermula dari Muktamar PBR di Bali tahun lalu, masih dalam sengketa hukum di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Karena itu, pihaknya mengharapkan Presiden tidak menandatangani Keppres pergantian dirinya walaupun Ketua DPR Agung Laksono telah melayangkan surat "recall" itu ke KPU dan KPU pun telah meneruskannya ke Presiden. Zaenal mempersoalkan surat yang disampaikan Agung Laksono ke KPU tersebut tanpa dibicarakan terlebih dahulu dalam Rapim DPR. "Sesuai UU No.22/2003 tentang Susduk, UU No.31/2003 dan Keputusan KPU No.I/2005 serta tata Tertib DPR, tidak dikenal istilah Ketua DPR, melainkan pimpinan DPR dan pimpinan DPR itu bersifat kolektif kolegial," katanya. Dikatakannya bahwa surat Agung Laksono yang mengatasnamakan pimpinan DPR adalah surat pribadi karena tidak ada keputusan Rapim DPR yang khusus membahas pergantian dirinya. "Surat Agung adalah surat pribadi dan tidak bisa dikatagorikan sebagai surat pimpinan DPR," katanya. Mengingat konflik internal PBR sedang diselesaikan secara hukum di MA dan Zaenal merasa dipaksa akan keluar dari DPR, politisi asal Solo ini menyatakan, hukum tidak lagi menjadi panglima dalam pengambilan keputusan tetapi lebih mengedepankan pendekatan kekuasaan. Karena itu, dia berharap Presiden untuk mengabaikan permohonan Pergantian Antar Waktu (PAW) yang diajukan DPP PBR ke Agung Laksono yang kemudian diteruskan ke KPU dan Presiden itu. Hal itu semata-mata untuk menghormati konstitusi dan proses hukum yang sedang berjalan di MA. (*)