Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan, Sugihardjo, mendedahkan alasan mengapa operasional ojek sepeda motor tidak bisa dianggap sebagai angkutan umum, yang didasarkan pada dua aspek pertimbangan, yakni keselamatan dan ekonomi.

Dari aspek keselamatan, kata Sugihardjo, ojek tidak memiliki jaminan apapun, bahkan mulai dari hal yang paling mendasar yakni perlindungan dari cuaca.

"Angkutan umum masih melindungi penumpangnya dari badan mobil atau kendaraan itu, kalau ojek 'kan itu rentan panas dan hujan," ucapnya dalam diskusi "Pressbackground Deregulasi, Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha, Pemanfaatan Aset, Pelayanan Terpadu Satu Atap" di Kemenhub, Jakarta, Selasa.

Dengan tidak adanya perlindungan dari kendaraan itu sendiri, lanjut dia, akan sangat berbahaya karena tubuh penumpang bisa berbenturan langsung dengan benda keras, seperti aspal.

Kedua dari aspek ekonomi, Sugihardjo menjelaskan semakin kecil suatu angkutan, maka variabel biaya operasionalnya semakin besar.

"Dalam sistem transportasi, semakin kecil transportasi semakin mahal biayanya, misalnya, PPD Mayasari itu 100, turun lagi metromini 175, mikrolet 350," paparnya.

Sebagai contoh, dia menjelaskan di Papua harga barang masih mahal karena biaya logistiknya tinggi dan itu disebabkan pesawat yang bisa mengangkut hanya pesawat kecil dengan kapasitas terbatas.

"Makanya landasan pacunya diperpanjang agar bisa ada pesawat yang lebih besar masuk," ucapnya.

Baca juga: Pemerintah akan pertemukan aplikator dan ojek dengan KPPU

Baca juga: Pemerintah segera atur aplikator jadi perusahaan transportasi

Baca juga: Soal tarif ojek, pemerintah serahkan ke aplikator-pengemudi

Dia mengatakan sebagaimana sejak awal, ojek hanya lah sebagai angkutan komplementer, artinya ketika angkutan umum sudah lewat dari jam operasi.

"Seperti ketika saya waktu muda dulu naik gunung 'kan tidak ada angkutan yang sama pos pendakian, kemudian ketika saya pulang malam tidak ada angkot, naik ojek," katanya.

Namun, lanjut dia, ketika jumlahnya sudah membeludak tetap harus diatur dan dalam hal ini, Kemenhub tidak bisa menentukan standar tarif karena tidak ada dalam payung hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.

"Mungkin bisa dicari solusinya dari sisi ketenagakerjaan, karena di Kemenhub tidak ada payung hukumnya. Bisa dicari unsur siapa yang memberi upah, siapa yang memberi perintah," ujarnya.