BWI : Dana zakat-infaq lebih fleksibel melalui lembaga pembiayaan syariah
27 Maret 2018 21:57 WIB
Dokumentasi--Direktur Utama Bank Syariah Mandiri ( BSM), Yuslan Fauzi ( kiri), menyerahkan sertifikat kepada Ketua Badan Wakaf Indonesia ( BWI), KH. Tholhah Hasan ( tengah), Wakil Ketua BWI, Musthofa Edwin Nasution ( kanan), di Jakarta, Selasa ( 26/5). BWI memperoleh sertifikat dari BSM, untuk bermitra dalam pengelolaan wakaf uang. (ANTARA/UJANG ZAELANI)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Divisi Pembinaan dan Pemberdayaan Nazhir Badan Wakaf Indonesia (BWI) Hendri Tanjung menilai potensi dana infaq, zakat maupun sedekah akan lebih fleksibel jika disalurkan melalui lembaga pembiayaan syariah untuk pemberdayaan ekonomi umat dibandingkan wakaf.
Dalam pernyataan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa, Hendri mengatakan hal tersebut karena pengelolaan wakaf berbeda dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LMKS).
"BWM ini bukan lembaga wakaf, ini adalah LKMS. Itu ada badan hukumnya. Kalau Bank Wakaf belum ada, LKMS itu ada. Ini LKMS bermerek Bank Wakaf Mikro (BWM). Kalau kita misalnya, nanti bicara wakaf banyak sekali perbedaan dalam hal istilah dan sejumlah hal yang harus dipenuhi," ujar Hendri dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Bank Wakaf Mikro untuk Masyarakat", yang diselenggarakan di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Selasa.
Hendri menerangkan, ketika berbicara lembaga wakaf maka lembaga itu harus dikelola oleh Nazhir. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya, sebagaimana yang tertuang di dalam UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1.
"Nazhir itu bisa berupa perorangan, organisasi, badan hukum yang menerima harta wakaf lalu mengelolanya serta mengembangkannya. Jadi hartanya adalah harta wakaf," kata Hendri.
Menurut Hendri, konsep Bank Wakaf Mikro ini mirip dengan Bank Infaq Mikro karena sangat fleksibel di dalam penggunaannya.
Sebenarnya, tambah Hendri, untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, bisa saja memakai model lembaga wakaf di Turki yang sudah berdiri kurang lebih 600 tahun lalu.
"Misalnya di Turki ada seseorang berwakaf 10 miliar untuk membangun sekolah, maka oleh Nazhir itu akan menerima uang 10 miliar tapi tidak semunya dibangun gedung sekolah. Yang dibangun gedung 5 miliar. Lalu 5 miliar sisanya untuk usaha seperti membuka toko dan lain-lain," ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, hasil dari usaha tersebut digunakan untuk gaji guru, gaji pengelola, dan muridnya pun bisa digratiskan.
"Jadi kalau kita galakkan lembaga wakaf ini ekonomi jadi murah, sekolah jadi murah bila perlu gratis, rumah sakit juga begitu. Lembaga wakaf paling hebat di dunia saat ini adalah Al-Azhar di Kairo," ujarnya.
Menurut Hendri, wakaf itu harus dikelola oleh Nazhir yang diakui oleh hukum di Indonesia dan mendapatkan izin kelola wakaf dari BWI. Nazhir tersebut mengajukan diri sebagai pengelola harta wakaf. Lalu dari BWI memanggil mereka untuk memaparkan program-programnya kemudian diberi izin oleh BWI. Para Nazhir pun harus ada auditnya.
"Di Indonesia, wakaf lebih banyak dalam bentuk harta tak bergerak atau tunai dalam benti emas atau perak, seperti di era Islam. Untuk wakaf tunai masih kecil. Prosesnya juga harus melalui akad," kata Hendri.
Namun demikian, ia menilai penerapan dari Bank Wakaf Mikro walaupun sama dengan LKMS akan luar biasa kalau ini bisa dipraktekkan kepada masyarakat kecil. Apalagi mereka mendapatkan pembiayaan tanpa agunan.
OJK saat ini terus mendorong pengembangan pembiayaan UMKM dan ultra mikro melalui pembentukan Bank Wakaf Mikro atau Lembaga Keuangan Mikro Syariah di berbagai daerah
OJK menyatakan, Bank Wakaf Mikro dimaksudkan untuk memperluas akses keuangan masyarakat di tingkat mikro. Bank Wakaf Mikro adalah lembaga keuangan mikro syariah yang fokus pada pembiayaan masyarakat kecil dengan pola bagi hasil yang menguntungkan.
Dana yang digunakan adalah murni dana donasi dari perseorangan, lembaga maupun korporasi lewat Lembaga Amil Zakat (LAZ). Tidak ada dana yang didepositkan di BWM, lembaga ini murni untuk pembiayaan.
Saat ini, OJK, Badan Wakaf Indonesia (BWI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan sejumlah pesantren atau sekolah Islam untuk mendirikan Bank Wakaf Mikro guna menyalurkan pembiayaan di lingkungan pesantren khususnya kelompok masyarakat kecil yang produktif.
Berdasarkan data OJK per 2 Maret 2018, sudah ada 10 BWM pada Pilot Project I dan 10 BWM pada Pilot Project II, yang memiliki 2.784 nasabah dengan total nilai pembiayaan yang telah disalurkan sebanyak Rp2.441,8 miliar.
Dalam pernyataan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa, Hendri mengatakan hal tersebut karena pengelolaan wakaf berbeda dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LMKS).
"BWM ini bukan lembaga wakaf, ini adalah LKMS. Itu ada badan hukumnya. Kalau Bank Wakaf belum ada, LKMS itu ada. Ini LKMS bermerek Bank Wakaf Mikro (BWM). Kalau kita misalnya, nanti bicara wakaf banyak sekali perbedaan dalam hal istilah dan sejumlah hal yang harus dipenuhi," ujar Hendri dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Bank Wakaf Mikro untuk Masyarakat", yang diselenggarakan di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Selasa.
Hendri menerangkan, ketika berbicara lembaga wakaf maka lembaga itu harus dikelola oleh Nazhir. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya, sebagaimana yang tertuang di dalam UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1.
"Nazhir itu bisa berupa perorangan, organisasi, badan hukum yang menerima harta wakaf lalu mengelolanya serta mengembangkannya. Jadi hartanya adalah harta wakaf," kata Hendri.
Menurut Hendri, konsep Bank Wakaf Mikro ini mirip dengan Bank Infaq Mikro karena sangat fleksibel di dalam penggunaannya.
Sebenarnya, tambah Hendri, untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, bisa saja memakai model lembaga wakaf di Turki yang sudah berdiri kurang lebih 600 tahun lalu.
"Misalnya di Turki ada seseorang berwakaf 10 miliar untuk membangun sekolah, maka oleh Nazhir itu akan menerima uang 10 miliar tapi tidak semunya dibangun gedung sekolah. Yang dibangun gedung 5 miliar. Lalu 5 miliar sisanya untuk usaha seperti membuka toko dan lain-lain," ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, hasil dari usaha tersebut digunakan untuk gaji guru, gaji pengelola, dan muridnya pun bisa digratiskan.
"Jadi kalau kita galakkan lembaga wakaf ini ekonomi jadi murah, sekolah jadi murah bila perlu gratis, rumah sakit juga begitu. Lembaga wakaf paling hebat di dunia saat ini adalah Al-Azhar di Kairo," ujarnya.
Menurut Hendri, wakaf itu harus dikelola oleh Nazhir yang diakui oleh hukum di Indonesia dan mendapatkan izin kelola wakaf dari BWI. Nazhir tersebut mengajukan diri sebagai pengelola harta wakaf. Lalu dari BWI memanggil mereka untuk memaparkan program-programnya kemudian diberi izin oleh BWI. Para Nazhir pun harus ada auditnya.
"Di Indonesia, wakaf lebih banyak dalam bentuk harta tak bergerak atau tunai dalam benti emas atau perak, seperti di era Islam. Untuk wakaf tunai masih kecil. Prosesnya juga harus melalui akad," kata Hendri.
Namun demikian, ia menilai penerapan dari Bank Wakaf Mikro walaupun sama dengan LKMS akan luar biasa kalau ini bisa dipraktekkan kepada masyarakat kecil. Apalagi mereka mendapatkan pembiayaan tanpa agunan.
OJK saat ini terus mendorong pengembangan pembiayaan UMKM dan ultra mikro melalui pembentukan Bank Wakaf Mikro atau Lembaga Keuangan Mikro Syariah di berbagai daerah
OJK menyatakan, Bank Wakaf Mikro dimaksudkan untuk memperluas akses keuangan masyarakat di tingkat mikro. Bank Wakaf Mikro adalah lembaga keuangan mikro syariah yang fokus pada pembiayaan masyarakat kecil dengan pola bagi hasil yang menguntungkan.
Dana yang digunakan adalah murni dana donasi dari perseorangan, lembaga maupun korporasi lewat Lembaga Amil Zakat (LAZ). Tidak ada dana yang didepositkan di BWM, lembaga ini murni untuk pembiayaan.
Saat ini, OJK, Badan Wakaf Indonesia (BWI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan sejumlah pesantren atau sekolah Islam untuk mendirikan Bank Wakaf Mikro guna menyalurkan pembiayaan di lingkungan pesantren khususnya kelompok masyarakat kecil yang produktif.
Berdasarkan data OJK per 2 Maret 2018, sudah ada 10 BWM pada Pilot Project I dan 10 BWM pada Pilot Project II, yang memiliki 2.784 nasabah dengan total nilai pembiayaan yang telah disalurkan sebanyak Rp2.441,8 miliar.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018
Tags: