Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah masih mematangkan konsep kewajiban pasok dalam negeri (Domestik Market Obligation/DMO) untuk komoditi perkebunan yang dibahas antar departemen. "DMO sedang digarap. Dalam jangka panjang perlu ada sistem kebijakan stabilisasi harga untuk jadi pegangan. Opsi seperti DMO pembahasannya terus berlanjut untuk mencari sistem terbaik," kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Ardiansyah Parman, di Jakarta, Selasa. Menurut dia, DMO tersebut bukan hanya untuk minyak sawit mentah (CPO) tetapi untuk komoditi perkebunan lainnya sesuai Undang-Undang Perkebunan dan sedang dibahas oleh Departemen Pertanian. Konsep DMO itu, lanjut Ardiansyah, nantinya akan berlaku secara permanen. Meski demikian, pemerintah tidak akan menetapkan patokan harga eceran khususnya untuk minyak goreng. "Kalau kita menciptakan disparitas yang terlalu jauh antara di dalam negeri dan luar negeri, secara mekanisme pasar itu tidak mungkin. Akan selalu timbul masalah, karena orang akan mencari bagaimana cari keuntungan," katanya. Untuk menyesuaikan harga di dalam negeri, pemerintah memiliki dua instrumen yaitu bea masuk dan Pungutan Ekspor (PE). Jika harga di luar negeri rendah, sedangkan dalam negeri tinggi maka digunakan bea masuk, agar petani dan produsen dalam negeri tidak dirugikan karena banjirnya produk impor. Sebaliknya, kalau harga di luar negeri sangat tinggi, dan di dalam negeri rendah, maka pemerintah mengenakan bea keluar atau pungutan ekspor. "Kalau kita gunakan selain dari dua kebijakan ini akan ada konsekuensinya. Misalnya, pemerintah membuat kebijakan mematok harga dalam negeri rendah, padahal di luar negeri harga tinggi. Pengawasannya harus benar-benar ketat karena rawan penyelundupan kalau perbedaan harga terlalu besar,"paparnya. Sementara itu, pemerintah masih memberlakukan PE tambahan menjadi sebesar rata-rata 6,5 persen untuk CPO dan turunannya. "Evaluasi PE kan dulu kesepakatannya 3-6 bulan. Kalau harga turun terus, mungkin tidak perlu PE tambahan. Kita perkirakan pada Juli stok dunia naik, harga minyak goreng dalam negeri pasti turun,"ujarnya. Saat ini, harga rata-rata nasional untuk minyak goreng curah mencapai sekitar Rp8.500 per kg dan bervariasi antara Rp7.000 hingga Rp9.000 per kg. "Dari perhitungan kalau harga internasional bisa turun sampai 750 dolar AS per ton atau 680 dolar AS harga FOB (Free On Board/harga di pelabuhan muat), maka harga minyak goreng bisa sekitar Rp7.000 per kg,"jelasnya. Ardiansyah mengaku harga minyak goreng masih tinggi meski telah dianggap stabil. "Yang namanya stabilisasi harga itu artinya tidak fluktuatif, tapi masalahnya sekarang di tingkat yang rendah atau tinggi. Sekarang saya kira harga sudah stabil masih tinggi,"tuturnya. (*)