Jakarta (ANTARA News) - Ekonom senior Rizal Ramli mengatakan Deputi Gubernur dan Gubernur baru Bank Indonesia harus berani berterus terang dalam menjelaskan data ekonomi Indonesia serta memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan bagi pemerintah.

"Misalnya, soal pelemahan rupiah, jujur saja bukan hanya karena tekanan eksternal, tapi ada juga faktor domestik yang membuat rupiah melemah," kata Rizal yang juga Mantan Menteri Keuangan dan Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi XI DPR, Jakarta, Senin.

Menurut Rizal, melemahnya nilai tukar rupiah sejak awal tahun hingga Maret 2018 bukan hanya disebabkan kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat dan rencana ekspansi fiskal Presiden Donald Trump, seperti yang kerap disebutkan BI sebagai penyebab utama depresiasi rupiah.

Namun, melemahnya rupiah, ujar Rizal, karena juga kondisi ekonomi domestik seperti masih banyaknya aliran modal jangka pendek di pasar keuangan, dan juga neraca transaksi berjalan yang terus menyisakan lubang defisit.

"Gubernur BI yang sekarang tidak pernah menyebutkan komponen domestiknya yang membuat rupiah melemah. Padahal ekonomi kita masih sangat rentan," ujar dia.

"Selalu disebutkan alasannya, negara negara lain juga mata uang melemah, dikomparasikan, padahal ada pekerjaan rumah di kondisi domestik yang bisa menjadi catatan BI," tambahnya.

Untuk perbaikan kebijakan di pasar keuangan, kata Rizal, Gubernur baru BI harus mampu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan serta Otoritas Jasa Keuangan agar mampu mengurangi dana asing di pasar keuangan (hot money) dan menggantikannya dengan dana asing berjangka panjang.

Selain itu, Pimpinan Bank Sentral juga harus mampu mendorong pemerintah atau kementerian di sektor rill agar mampu memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan, melalui kebijakan di sektor perdagangan.

"Itu adalah beberapa yang menjadi penyebab risiko domestik. Memang banyak yang bukan wewenang Gubernur BI, tapi Gubernur BI bisa mendorong itu," ujar dia.

Rizal juga menyebut tidak tepat jika BI kerap membandingkan rasio utang pemerintah dengan Produk Domestik Bruto (Debt to GDP Ratio) Indonesia dengan Amerika Serikat. Menurutnya, perbandingan itu sangat tidak proposional dan dapat memberikan pemahaman yang keliru.

"Debt to GDP Indonesia yang sebesar 29 persen tidak bisa dibandingkan dengan AS. AS adalah negara satu-satunya di dunia yang dapat memproduksi dolar AS dan menjualnya ke negara lain. Sementara Indonesia apakah bisa melakukan itu dengan rupiahnya," ujar dia.