Jakarta (ANTARA News) - Sebagai seorang guru ngaji, Mukri (Donny Damara) rela hanya mendapatkan sembako atau sekedar bahan makanan sebagai imbalan jasa sekaligus pengabdiannya untuk sesama muslim.
Di rumah, dia harus menghidupi istrinya, Sopiah (Dewi Irawan) dan putra tunggalnya, Ismail (Akinza Chevalier) yang masih duduk di sekolah dasar.
Mukri juga harus memutar otak agar bisa membayar hutang pada saudaranya dan mencukupi kebutuhan yang tak bisa dia bayar menggunakan sembako.
Tanpa diketahui keluarga dan warga desanya, Mukri ternyata bekerja sebagai badut di sebuah pasar malam bersama rekannya, Parmin (Ence Bagus).
Setiap malam dia dan Parmin menghibur penonton yang rata-rata adalah anak-anak lewat tingkah polah dan atraksi jenaka.
Dari pekerjaannya itu, Mukri bisa memberi selembar dua lembar rupiah pada keluarganya.
Semula, semuanya berjalan baik-baik saja. Usai menjadi badut, Mukri pergi ke rumah-rumah warga desa, mengajar mengaji anak-anak. Bila tidak ada panggilan mengaji, dia langsung pulang ke rumah.
Masalah muncul saat Kepala Desa (Tarzan) meminta bantuan pemilik pasar malam, Koh Alung (Verdi Solaiman) mendatangkan badut untuk meramaikan pesta ulang tahun anaknya.
Di sisi lain, Pak Kades juga meminta Mukri memimpin doa di acara itu. Situasi bertambah rumit saat Parmin meminta Mukri mengiyakan permintaan Pak Kades.
Mukri menghadapi sebuah dilema. Di satu sisi, dia ingin menyanggupi permintaan Kades untuk memimpin doa sekaligus menjadi badut, namun di sisi lain, Mukri tak ingin orang lain terutama keluarganya tahu soal pekerjaannya sebagai badut.
Menjadi badut, menurut Mukri, sekalipun merupakan halal namun bertolak belakang dengan pekerjaanya sebagai guru ngaji. Badut selalu ditertawakan orang dan ini berbeda dengan guru ngaji yang selalu dihormati orang lain.
Mukri khawatir warga desa tak bisa menerima kenyataan bahwa guru ngaji di desa mereka ternyata badut di pasar malam yang kerap mereka tertawakan.
Bisakah dia menyanggupi dua permintaan itu tanpa harus ketahuan orang lain?
Secara garis besar, film "Guru Ngaji" berusaha memotret realita kehidupan guru ngaji di Indonesia, terutama di daerah yang hanya mendapatkan imbalan seikhlasnya dan cenderung berupa sembako atau hasil bumi.
Padahal di sisi lain, sebagai kepala keluarga dia juga harus mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Maka tak aneh jika dalam kehidupan, masyarakat menemukan seorang guru ngaji yang memiliki pekerjaan sampingan lain. Potret ini begitu jelas dalam film.
Hanya saja, sebagai guru ngaji, tokoh Mukri tak begitu banyak menonjol. Porsi sebagai badut justru lebih besar, sehingga sosok Mukri lebih pas disebut sebagai badut yang juga bekerja sampingan sebagai guru ngaji, bukan sebaliknya.
Dengan kata lain, bukan sosok Mukri sebagai guru ngaji yang menonjol, tetapi Mukri sebagai badut.
Kendati begitu, dialog yang ringan dan sesekali diselingi bahasa Jawa cenderung mudah penonton pahami (karena ada teks dalam bahasa Indonesia).
Tak hanya itu, bumbu komedi yang tak luput masuk dalam film turut menyemarakkan cerita.
"Kami enggak ingin it's too heavy, karena kami ingin anak-anak muda, anak kecil bisa menikmati film ini. Makanya kami masukan humor di sana, diwakilkan Mas Ence Bagus, Dodit Mulyanto serta komedian senior Mas Tarzan," kata prosedur Rosa Rai Djalal kepada ANTARA News di Jakarta.
Lebih dari itu, film yang tayang hari ini di bioskop tanah air itu mungkin bisa membangkitkan memori sebagian masyarakat muslim di tanah air waktu kecil, saat mereka mengaji bersama guru ngaji.
Kala dilema menimpa "Guru Ngaji"
22 Maret 2018 21:10 WIB
Poster film Guru Ngaji. (HO)
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
Tags: