Sejak divonis gagal ginjal per 9 Januari 2001 dan keharusan mencuci darah seminggu dua kali seumur hidup, kesehatan salah seorang sastrawan ternama Indonesia, Radhar Panca Dahana (42), sebenarnya kian menurun. Tak terkecuali ketika ia mesti mementaskan karya monolognya berjudul "1 Hari 11 Mata Di Kepala" di Teater Kecil, TIM, Jakarta 6-7 Juli 2007 bersama Teater Kosong dengan pemain Krisniati Marchelllina, Yudarria, dan Andi. Dosen Sosiologi FISIP-UI dan master Sosiologi dari EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales), Prancis, itu bahkan sempat pingsan beberapa kali ketika sedang latihan, termasuk dirawat selama satu minggu di rumah sakit pada satu bulan sebelum pementasan. Pagi hari menjelang pementasan, tokoh kelahiran Jakarta 26 Maret 1965 itu merasa tidak kuat berdiri sehingga sempat berkonsultasi dengan dokternya, sehingga ia terpaksa memainkan monolog itu sambil berbaring. Dalam "1 Hari 11 Mata Di Kepala" Radhar berperan sebagai sutradara, penulis naskah, sekaligus aktor. Ketika diwawancarai ANTARA News seusai pementasan pun, posisi Radhar terus berbaring hingga wawancara usai. Dipuji mengenai penampilan dirinya dan anak-anak asuhnya dalam pementasan itu, Radhar menepis dengan mengatakan bahwa penampilan tadi belum maksimal. "Ini baru 50 persen saja, kalau sudah maksimal, saya yakin kamu `nggak` bisa tidur," ujar suami Evi Aprianti dan ayah dari bocah berusia tujuh tahun bernama Cahaya Prima Putradahana itu. Radhar yang juga didera sejumlah penyakit seperti gangguan jantung, asam urat, dan pembengkakan paru-paru, seolah kian memahami makna hidup untuk senantiasa berkarya di bidang yang telah memberikannya "Paramidana Award" (2005) dan "Medali Frix de le Francophonie 2007" dari 15 negara berbahasa Prancis (2007). Dalam "1 Hari 11 Mata Di Kepala" Radhar mengeritik sikap bangsa ini yang tidak pernah jadi diri sendiri, segala sesuatu selalu meniru dari luar. "Kita sering main comot saja, yang sana bagus kita ambil, sini yang bagus ambil. Jepang, Korea, Malaysia kita tiru-tiru. Jagoannya dulu Gatotkaca, sekarang ada yang dari India, Jepang, Korea bahkan Malaysia," ujarnya dalam pementasan itu. Realitas di atas panggung "1 Hari 11 Mata Di Kepala" ditampilkan dalam tata panggung garapan Giri Basuki yang tampak sederhana, tetapi menunjang isi monolog, terlebih diperkuat oleh tata cahaya oleh Reno Azwir. Di panggung yang menggambarkan ruang tidur: Hajjira (diperankan Krisniati), pekerja toko, juga pekerja seks komersial, melihat ruang tidurnya setiap hari selalu berubah. Radhar tidak hanya mengandalkan manusia sebagai pelakon dalam pentas, tapi semua yang ada, sayur, api, kursi, kecoa, air tumpah, tikus, bahkan bau masakan. Tikus-tikus yang muncul dari dalam kloset ditampilkan sebagai pembuka adegan. Bau masakan pun tercium di seluruh ruang pentas Teater Kecil, TIM, ketika Maria menyiapkan masakan seolah suaminya masih hidup di dalam ruangan itu. "Kalau di TV ada adegan masak, tapi tidak ada baunya. Sedangkan dalam teater semuanya disajikan utuh. Hidup itu berlangsung utuh. Ini yang tidak pernah dimanfaatkan oleh teater-teater kita sebelumnya. Jadi saya suruh saja dia (Yudarria, pelakon Maria) masak beneran," kata Radhar. Gempa hebat sebagai peringatan Tuhan kepada manusia diekspresikan Radhar melalui suara gemuruh hasil rekayasa suara dan goncangan dinding-dinding pembatas pada penataan panggung. Dalam sebuah panggung yang memungkinkan apa pun yang diinginkan terjadi. Dan ada tak ada relasi, bukan soal lagi. Semua berrelasi sekaligus mengingkarinya. "Dunia ini bukan milik kita lagi, dunia ini milik mereka dan mereka yang mengatur dan memproduksinya". Hajjira kemudian mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan membakar ruang tidurnya bersama dirinya yang kosong. "1 Hari 11 Mata Di Kepala" memiliki makna bahwa satu hari merupakan sebuah entitas dari ruang, waktu dan cinta. Dimensi ruang ditambah waktu merupakan entitas yang membentuk sejarah. Tetapi ruang dan waktu ditambah dimensi cinta dengan segala konfliknya, terbentuklah suatu peradaban manusia. Seorang manusia tidak bisa hidup dalam satu realitas saja, manusia memiliki berbagai peranan dalam kehidupannya. Radhar dalam berbagai pementasannya senantiasa berusaha menunjukkan realitas di atas panggung secara utuh. "Teater yang maksimal itu apabila artifisialisasi, jarak antara pemain, penontong, dan tontonan semakin dekat. Penonton terlibat, sehingga hidup yang utuh bisa masuk ke dalam teater," katanya. Teater, ujar Radhar menambahkan, tidak dapat diwakili bentuk-bentuk tradisional dan konservatif. Hal itu disebabkan dunia yang majemuk tidak dapat diwakili oleh cerita-cerita tunggal, seperti cerita linier, monokron, peran protagonis dan antagonis. "Dalam dunia dan hidup kita tidak ada cerita yang seperti itu," kata Radhar yang pada usia 10 tahun telah menulis cerpen di Harian Kompas berjudul "Tamu Tak Diundang". Kini teater harus menemukan kembali realitas di atas panggung. Tidak seperti masa lalu, pentas-pentas dengan dramatugi klasik seperti Romeo & Juliet, Hamlet, Musuh Masyarakat, Lautan Bernyanyi, Sumur Tanpa dasar, tidak mewakili realitas sesungguhnya saat ini. Dari karya-karya sebelumnya, seperti "Menjadi Manusia Indonesia" (esai humaniora, 2002), "Lalu Waktu" (kumpulan sajak, 2003), "Jejak Posmodernisme" (2004), "Cerita-cerita dari Negeri Asap" (kumpulan cerpen, 2005), "Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia" (esai humaniora, 2006) "Dalam Sebotol Coklat Cair" (esai sastra, 2007), "Metamorfosa Kosong" (kumpulan drama, 2007) Radhar telah menggapai masa depannya. Meskipun dalam kondisi sakit, Radhar tetap tegak menghasilkan karya-karya terbaiknya, sehingga tak salah bila stasiun televisi Jepang NHK pada 1996 memberikan gelar kepadanya sebagai salah seorang dari lima seniman muda masa depan Asia.(*)